Mohon tunggu...
Bagis Syarof
Bagis Syarof Mohon Tunggu... -

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Merajut Pembaruan Demokrasi, Pemilu Online

2 Desember 2018   16:23 Diperbarui: 2 Desember 2018   16:45 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


"Tidak ada satupun gelaran pemilihan kepala daerah yang berjalan tanpa ada kecurangan", Mahfud MD

Gong tanda dimulainya kampanye pemilihan Presiden (pilpres) sudah dimulai bulan lalu. Masa kampanye tersebut dijadwalkan berlangsung sekitar lima bulan sejak 23 September 2018 sampai 13 April 2019. Kedua pasangan calon (paslon) sudah turun ke masyarakat untuk meyakinkan masyarakat terhadap dirinya.

Pemilihan umum (pemilu) pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955. Pada saat itu, rakyat dibebaskan untuk memilih wakil rakyat secara langsung. Setelah Presiden Soekarno lengser dan digantikan oleh Jendral Soeharto, pemilu tetap berjalan layaknya Orde Lama. Pada tahun 2004, Pemilihan kepala negara berbeda dengan masa sebelumnya yang dipilih oleh DPR dan MPR. Era Reformasi tersebut rakyat diberikan hak untuk menentukan pemimpin negara dengan hati nuraninya sendiri tanpa diwakili oleh orang lain.

Pemilu Tidak Beres

Statement pakar hukum tata negara di atas, menandakan akan ketidakberesan pemilu. Dalam sebuah kontestasi politik, peserta pemilu akan melakukan berbagai cara kampanye untuk bisa meyakinkan hati rakyat bahwa mereka yang paling cocok untuk memimpin.

Menurut Pasal 521 UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang kampanye, dilarang melakukan kampanye mempersoalkan dasar negara Pancasila, menghina SARA, menghasut dan mengadu domba, mengganggu ketertiban umum, money politic, dan lainnya. Jadi oknum-oknum yang berkecimpung dalam dunia pemilu tidak boleh melanggar pasal tersebut. Kampanye yang sehat adalah bagaimana meyakinkan rakyat dengan visi dan misi, bukan menjelekkan kelompok koalisi ataupun oposisi.

Kecurangan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak beberapa bulan yang lalu terungkap kecurangannya. Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri, Martinus Sitompul kepada koran Pikiran Rakyat, mengatakan ada 5 kecurangan dalam pilkada yang berhasil timnya temukan : Pertama, perlakuan intimidasi. Rakyat Indonesia yang berpendidikan rendah menjadi target oknum yang tidak bertanggung jawab dalam aksi ini. masyarakat ditakut-takuti pada saat pemilihan dilaksanakan sehingga, banyak dari mereka tidak menggunakan hak pilihnya, golput.

Kedua, membuat gaduh suasana. Situasi seperti ini membuat tidak kondusifnya sebuah pesta demokrasi. Ketiga, gangguan informasi tidak valid (hoaks). Pengaruh sebuah informasi sangat besar sekali untuk menentukan pilihan. Pasalnya, rakyat yang cerdas akan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kandidat yang akan dipilih.

Hoaks menjadi momok yang sangat menakutkan dalam sebuah pemilihan umum atau pesta demokrasi. Seorang yang kurang hati-hati dalam memilah informasi akan terhegemoni oleh berita bohong tersebut dan akhirnya mengubah pilihan hati nuraninya.

Keempat, manipulasi data. Yang rentan dilakukan oleh petugas pemilu adalah penipuan ini. Biasanya, perbuatan jahat ini dilakukan atas dasar uang (money politic). Sehingga banyak rakyat yang tidak memiliki hak pilih dan akhirnya suara rakyat hilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun