Aku tertunduk tak bergeming sedikit pun hari itu. Â Hari itu adalah hari dimana semua impian serta bayangan masa depan harus hancur berkeping-keping. Mahkota Kristal yang telah susah payah terukir indah kini terpecah belah menjadi pecahan acak yang berserakan di lantai. Seolah mewakilkan perasaan yang menjadi kacau tak beraturan saat itu.
Apakah aku terlalu egois untuk mempertahankan? Apakah membuatmu tetap tinggal benar-benar menyakitkan bagimu?
Helaan nafas panjangku terus-menerus terdengar di dalam ruangan itu. Seakan menjadi musik yang melatari atmosfer saat itu. Sebuah helaan yang sejatinya penuh peluh serta kata-kata yang tak terucap.
Aku berusaha tegap sembari melihat sosokmu yang mulai menghilang dari hadapanku. Aku harus bersiap melewati lorong biru yang harus kutempuh setelah ini. Sebuah lorong yang aku sendiri pun tak tahu dimana ujungnya.
Perjalanan itu kini aku tempuh, aku tak mendengar lagi suaramu. Aroma itu yang dulu ku kenal kini kian pudar. Ingatanku tentang dirimu mulai tak berwarna dan perlahan-lahan menjadi bayang abu, beriringan dengan langkahku yang semakin layu. Lorong kosong dan gelap menjadi temanku setiap hari.
Dalam lorong itu aku berjalan dalam ketimpangan batin. Hanya langkah kakiku sendiri yang aku lihat, tidak ada yang lain. Ya...hanya aku.