Mohon tunggu...
Bachtiar Dwi Rendra Graha
Bachtiar Dwi Rendra Graha Mohon Tunggu... -

"Beranilah bermimpi dan wujudkan impianmu itu, karna impian tak akan terwujud tanpa sebuah keberanian"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Independensi Pengadilan Pajak

19 April 2012   14:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:25 4798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, lembaga-lembaga lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman masih memerlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang. Hal ini dimaksudkan agar lembaga-lembaga lain tersebut tidak berada di luar salah satu lingkungan peradilan yang telah ditentukan. Misalnya, pengadilan pajak yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta memberikan perlindungan hukum wajib pajak dalam penyelesain sengketa pajak.[1]

Pada tahun 2002 setelah UUD 1945 diamandemen untuk kedua kalinya, UU Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (DILJAK). Konsekuensi penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti dengan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dasar Pertimbangan dilakukan pergantian dapat dilihat dalam konsideran UU DLIJAK, yang menegaskan: [2]

a.bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, menjamin perwujudan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tenteram dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat;

b.bahwa untuk mencapai tujuan dimaksud, pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air memerlukan dana yang memadai terutama dari sumber perpajakan;

c.bahwa dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak dan pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundangundangan perpajakan tidak dapat dihindarkan timbulnya Sengketa Pajak yang memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana;

d.bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung;

e.bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak.

Sebagaimana kita ketahui posisi Kementerian Keuangan sebagai pintu keluar masuknya anggaran negara memiliki peran yang strategis sebagai katalisator keberhasilan reformasi birokrasi. Ironisnya, justru berbagai kasus korupsi yang terungkap belakangan ini bersumber dari instansi tersebut, terutama dari Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai. Dari sekian banyak kasus yang muncul terkait dengan perpajakan, lembaga yang turut menjadi sorotan publik adalah Pengadilan Pajak yang dinilai tidak independen karena berada di bawah dua atap.[3]

Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, namun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangannya masih dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Keadaan ini menjadi salah satu sebab yang menghambat independensi para hakim untuk dapat memutus sengketa pajak dengan adil. Mahkamah Agung sendiri gamang dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasannya.[4]

Berdasarkan pemetaan masalah Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang dihasilkan melalui serangkaian wawancara, focus group discussion dan observasi, terdapat beberapa permasalahan terkait aspek regulasi, organisasi, sumber daya manusia, dan pengawasan di pengadilan pajak. Permasalahan aspek regulasi meliputi inkonsistensi, multitafsir dan overlapping peraturan. Pada aspek organisasi, keberadaan pengadilan pajak yang bernaung dibawah Mahkamah Agung sekaligus Kemenkeu menjadikan lembaga tersebut tidak independen. Sementara itu permasalahan aspek SDM meliputi rendahnya kualitas dan kuantititas hakim disamping sistem rekrutmen hakim yang tidak transparan. Adapun permasalahan aspek pengawasan meliputi tingginya potensi konflik kepentingan antara hakim-wajib pajak-fiskus, tidak efektifnya sistem pengawasan dari level pemeriksaan, pengajuan keberatan/banding sampai dengan eksekusi putusan, termasuk belum terbentuknya majelis kehormatan pengadilan pajak.[5]

B.Rumusan Masalah

1.Bagaimana Politik Hukum dalam Independensi Pengadilan Pajak?

BAB II

PEMBAHASAN

A.Sejarah Berdirinya Pengadilan Pajak

Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken).Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-UndangNomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi MajelisPertimbangan Pajak yang tugasnya memberi keputusanatas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajaknegara dan pajak-pajak daerah.[6]

Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPPdiberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sahdan tidak bertentangan dengan kekuasaan kehakimansebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970.UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal27 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :[7]

“Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.”

Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut :

“Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”

Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk melalui undang-undang. Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan serta memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.[8]

Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya adalah sebagai berikut :[9]

1.BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa:

a.banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;

b.gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan.

2.Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3.Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan keadilan pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur sebagai berikut :[10]

1.Jalur keberatan pajak dan banding ke BPSP.

2.Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

3.Jalur melalui peradilan umum.

Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya untuk menyelesaikan sengket administratif, yaitu dari segi perhitungan dan akuntansi, bukan mengenai pidana pajak. Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP pada kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung.[11] Hukum Pajak sebagai hukum positif merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum publik. Substansi hukum pajak memuata kaidah hukum tertulis karena dalam kenyataannya bahwa kelahirannya didasarkan pada Undang-Undang Pajak sebagai produk politik dari Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden. Ketentuan ini tersebar dalam berbagai Undang-Undang Pajak yang bersifat formal maupun bersifat materiil. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan kepada pihak-pihak terkait dengan hukum pajak agar memahami kaidah hukum pajak dalam pelaksanaan dan penegakannya, baik di luar maupun di dalam peradilan pajak.[12]

Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.”[13]

B.Dasar Hukum Pengadilan Pajak

Pengadilan Pajak dibentuk melalui UU Nomor 14 Tahun 2002. Pengadilan pajak diberi kewenangan untuk memutus perkara mengenai sengketa pajak. Dalam Pasal 1 butir 5 undang-undang ini menyebutkan pengertian sengketa pajak adalah

“Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”

Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan pajak tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak. Pasal 31 menjelaskan sebagai berikut.

1.Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.

2.Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Selain yang tercantum dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak juga mempunyai kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 yang berbunyi sebagai berikut :

1.Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasalv31, Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidangsidang Pengadilan Pajak.

2.Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Ketua.

C.Pengertian Politik Hukum

Banyak definisi-definisi politk hukum yang dirumuskan oleh beberapa ahli yang selama ini cukup concern mengamati perkembangan disiplin ilmu ini, salah satunya adalah Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang di bangun.[14]

Pernyataan”mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya” mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan “mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun” mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum). Dengan demikian, berbeda dengan definisi politik hukum yang dikemukakan Padmo Wahjono, yang lebih mengarah pada hukum yang bersifat ius constituendum, definis politik hukum yang dirumuskan oleh Radhie tampaknya memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan berkelanjutan, yaitu ius constituendum dan ius constitutum.[15]

Dalam buku Politik Hukum tulisan Moh. Mahfud MD disebutkan bahwa definisi atau pengertian politik hukum juga bervariasi. Namun dengan menyakini adanya persamaan substansi antar berbagai pengertian yang ada, studi ini mngemabil pengertian bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan permbuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.[16]

Lebih lanjut Bagir Manan, mengemukakan bahwa politik hukum terdiri dari politik hukum yang bersifat tetap (permanen) dan politik hukum yang bersifat temporer. Yang tetap berkaitan denga sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum. Bagi Indonesia, politik hukum yang tetap antara lain: (1) Ada satu sistem hukum Indonesia;(2) Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945;(3) Tidak ada hukum yang memberikan hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa;(4) Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat;(5) Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat;(6) Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat;(7) umum(keadilan sosial bagi seluruh rakyat) terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan berkonstitusi.[17]

Politik Hukum temporer adalah kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Termasuk dalam kategori ini hal-hal seperti penentuan prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan kolonial, pembaharuan peraturan perundang-undangan yang menunjang pembangunan nasional dan sebagainya.[18]

D.Analisis

Ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan melalui doktrin “Trias Politika” sebagaimana diketengahkan oleh Emmanuel Kant maupun Montesquieu dan dikembangkan oleh John Locke melalui ajaran “Separation of Power” yaitu :

“There can no be liberty when the legislative and executive power are jointed in the same persons or body of lords because it to be feared that the monarch or body will make tyrannical laws to be administered in tyrannical way. Nor is there any liberty if the judicial power is not separated from the legislative and executive power.”

bahwa tidak ada kemerdekaan apabila kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif berada dalam satu tangan atau badan. Apabila kekuasaan-kekuasaan tersebut berada di satu tangan akan menimbulkan suatu “tirani”. Konsep pemikiran masyarakat yang bebas diawali dengan pemisahan kekuasaan antara kekuasaan legislatif dengan eksekutif maupun yudikatif dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif.[19]

Pada dasarnya, pengadilan pajak memang mempunyai karateristik yang hampir menyerupai Peradilan tata Usaha Negara dilihat dari jenis sengketa (objek sengketa) yang dapat diperiksa dan diputuskan. Pada subjek sengketa terdapat sedikit perbedaan, dikarenakan Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengakui orang dan badan hukum perdata saja yang dapat mengajukan perkaranya untuk diperiksa. Sedangkan, pengadilan pajak mengakui bentuk usaha tetap sebagai salah satu subjek yang dapat mengajukan perkara unutk diperiksa di pengadilan pajak. [20]

Pengadilan Pajak sebagai pengadilan Khusus dalam lingkungan peradilam tata usaha negara memerlukan pembinaan agar dapat melaksanakan tugas dan wewenang yang dibebankan kepadanya. Pembinaan Pengadilan Pajak sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 5 UU DILJAK, adalah sebagai berikut.[21]

1.Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.

2.Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.

3.Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasana hakim dalam memeriksa dan memutuskan sengketa pajak.

Pembinaan Pengadilan Pajak sebagaipengadilan khusus yang melaksanakan kekuasaaan kehakiman dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak bersifat dualisme. Pembinaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung hanya berkaitan dengan teknis peradilan sehingga berhak melakukan pengawasan terhadap penanganan sengketa pajak yang dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Sementara itu, pembinaan yang terkait dengan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Kementrian Keuangan. Dalam arti, Kementrian Keuangan sebagai bagian dari eksekutif mengatur organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak yang sebenarnya adalah bagian dari yudikatif. [22]

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Pengadilan Pajak sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka, kemandirian Hakim Pengadilan Pajak dalam memutus sengketa perpajakan dijamin oleh Undang-Undang {Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002}.[23]

Secara normatif pengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut Pasal 1 tersebut diatas adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, dan netral. Dalam penjelasan Pasal 1 ditegaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.[24]

Parameter untuk menentukan suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, antara lain bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum. Kekuasaan-kekuasaan diluar kekuasaan memeriksa dan memutus perkara dan membuat ketetapan hukum, dimungkinkan dicampuri seperti supervisi dan pemeriksaan dari cabang-cabang diluar kekuasaan kehakiman.[25]

Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan tidak bersesuaian dengan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU KEMAN) karena oragnisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kemudian menurut pasal 13 ayat (3) UU KEMAN, ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing. Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) UU DIJLAK disesuaikan dengan Pasal 13 ayat (1) UU KEMAN agar terjadi sinkronisasi dalam pembinaan Pengadilan Pajak yang berada di bawah Mahkamah Agung.[26]

Pembinaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung maupun Kementrian Keuangan terhadap Pengadilan Pajak tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam arti, hakim Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak tidak boleh dipengaruhi dalam bentuk dan cara apa pun, baik dari Mahkamah Agung maupun Departemen Keuangan selaku pembina Pengadilan Pajak mengingat kebebasan hakim sangat fundamental dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran yang berujung pada perlindungan hukum.[27]

Pembinaan yang bersifat dualisme sedapat mungkin dapat dihilangkan dalam sistem peradilan, walaupun dikalangan Kementrian Keuangan tidak mengurangi kemandirian hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Akan tetapi, menurut M.Yahya Harahap (1997:7-8) pendapat ini mengandung kekeliruan dan ketidakbenaran, atas alasan berikut ini.[28]

1.Menempatkan badan peradilan dibawah eksekutif dalam hal ini departemen meskipun yang ditempatkan dibawahnya hanya organisator, administratif, dan finansial, sistem seperti ini tidak baik langsung atau tidak langsung merupakan simbol pengakuan yuridis bahwa badan peradilan berada dibawah kementrian yang bersangkutan. Lebih lanjut simbol tersebut, memberi aba-aba peringatan kepada para hakim akan batas otonomi kebebasan mereka, yaitu dalam menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan, mereka berada di bawah kementrian. Oleh karena itu, meskipun secara teoritis yang dibina dan diawasi hanya administratif, personal, dan finansial, daya pengaruh simbol yang tekandung di dalamnya menibulkan efek politik dan psikologi yang sangat luas terhadap “otonomi kemandirian kebebasan hakim”, dan juga berdampak luas terhadap nilai ”loyalitas” para hakim itu sendiri, dalam bentuk kebimbangan, apakah harus loyal kepada fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman atau mesti loyal kepada kebijaksanaan departemen yang bersangkutan.

2.Sistem dualisme yang ada sekarang menimbulkan kesulitan dan hambatan menyumbangkan konsep dan program pengawasan dan pembinaan yang “komprehensif” dan “integral”.

Pengurangan kebebasan hakim Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak berarti melumpuhkan secara bertahap Pengadilan Pajak sebagai benteng terakhir untuk memberikan keadilan dan kebenaran yang berujung pada perlindungan hukum. Hal ini harus dihindari agar hakim Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak dapat menghasilkan suatu putusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, kebebasan hakim Pengadilan Pajak menentukan mutu putusan terhadap sengketa pajak yang diperiksa dan diputuskannya.[29]

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

1.Dalam Pembinaan Pengadilan Pajak terjadi dualisme yaitu Mahkamah Agung dan Kementrian Keuangan. Mahkamah Agung hanya berkaitan dengan teknis peradilan sehingga berhak melakukan pengawasan terhadap penanganan sengketa pajak yang dilakukan oleh Pengadilan Pajak sedangkan untuk Kementrian Keuangan sebagai bagian dari eksekutif mengatur organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak. Sehingga hal ini bisa membuat kebimbangan hakim pengadilan pajak, apakah harus loyal kepada fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman atau mesti loyal kepada kebijaksanaan departemen yang bersangkutan.

2.Untuk kedepannya pembinaan Pengadilan Pajak sebaiknya di serahkan seluruhnya ke Mahkamah Agung untuk menjaga independesi hakim pengadilan pajak.

Daftar Pustaka

A.Buku

Adrian Sutedi, Hukum Pajak Dan RestribusiDaerah, Cetakan Pertama. Bogor:Gahlia Indonesia,2008.

Imam Syakuni dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Cetakan Ketujuh .Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2011.

Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007.

M. Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, Cetakan Kesatu. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011.

Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Di Indonesia, Cetakan Ketiga.Jakarta:PT.Pustaka LP3ES Indonesia,2006.

Winardi, Dinamika Politik Hukum Pasca Perubahan Konstitusi dan Implementasi Otonomi Daerah,Cetakan Pertama.Malang:Setara Press,2008.

B.Makalah

Riski Argama,”Pengadilan Pajak di Indonesia: Aturan Dan Pelaksanaannya Sebagai Solusi Sengketa Pajak”, Makalah Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, Desember 2005

C.Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

D.Data Elektronik

http://www.transparansi.or.id/kajian/reformasi-perpajakan-mewujudkan-pengadilan-pajak-yang-berintegritas/

[1] Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 32.

[2] Ibid.

[3] http://www.transparansi.or.id/kajian/reformasi-perpajakan-mewujudkan-pengadilan-pajak-yang-berintegritas/

[4] Ibid.

[5] Ibid.


[6] Riski Argama,”Pengadilan Pajak di Indonesia: Aturan Dan Pelaksanaannya Sebagai Solusi Sengketa Pajak”, Makalah Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, Desember 2005, hlm. 6-7.

[7] Ibid., hlm. 7.

[8] Ibid., hlm. 8.

[9] Ibid., hlm. 8-9.

[10] Ibid., hlm. 9.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun