Mohon tunggu...
Law Session.id
Law Session.id Mohon Tunggu... Dosen - Edukasi Politik dan Hukum

"Ketidaktahuan akan Hukum tidak dapat Dimaafkan"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Potret Kemunduran Sistem Politik dan Demokrasi Lokal Dalam Pusaran Isu Penambahan Masa Jabatan Kepala Desa

20 Januari 2023   06:56 Diperbarui: 20 Januari 2023   07:02 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adhe Ismail Ananda, S.H., M.H (Akademisi USIMAR Kolaka) - Dok. pribadi

Menurut Niccolo Machiavelli, kekuasaan cenderung dilanggengkan oleh setiap penguasa lewat berbagai cara. Segala bentuk dan macam cara tidak menjadi persoalan asalkan kekuasaan itu dapat dipertahankan.  Dari pandangan Machiavelli ini dapat di ketahui bahwa potensi lahirnya cara-cara yang berlebihan atas tindakan yang dianggap mengancam dan membahayakan penguasa, Hal ini disebabkan oleh kondisi penguasa yang cenderung memiliki ambisi untuk berkuasa terus-menerus. Sehingga kadangkala kepentingan penguasa sering bertolak belakang dengan kepentingan rakyat banyak.

Pernyataan politikus Italia yang juga seorang filsuf ini agaknya relevan untuk menyikapi kondisi yang baru-baru ini terjadi, dimana ribuan kepala desa yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) melakukan aksi demontrasi di Gedung DPR RI guna menuntut revisi undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa dengan melakukan perpanjangan terhadap masa jabatan kepala desa, yang semula 6 tahun menjadi 9 tahun dengan alasan meminimalisir polarisasi pembelahan sosial akibat persaingan politik dan mengurangi pengeluaran anggaran daerah dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa.

Pengaturan mengenai periodesasi jabatan kepala desa diatur dalam Pasal 39 UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa, dimana ayat (1) menyebutkan bahwa Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kemudian ayat (2) menyebutkan bahwa Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Jika dilakukan penambahan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun untuk setiap periodenya, maka secara kalkulasi kepala desa yang terpilih sebanya 3 kali akan memimpin desa selama 27 tahun, waktu yang hampir sama dengan masa jabatan presiden soeharto dimana dimasa itu banyak ketimpangan yang terjadi utamanya terkait maraknya praktik KKN dan matinya demokrasi.

Lord Acton pada awal abad 20, mengatakan bahwa kekuasaan cendung korup, dan kekuasaan yang absolut pasti korup (power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely). Jadi usulan perpanjang periode menjadi 9 tahun itu ide yang bertentangan dengan demokrasi sebab demokrasi menolak keras kekuasaan yang absolut dan kekuasaan yang tidak dipergilirkan melalui partisipasi rakyat.

Selain itu jika kita mengkajinya dalam perspekti komparasi historis terkait masa jabatan kepala desa, pada era Kolonial Belanda sebelum 1811 dan 1816-1942, lahir peraturan dalam bentuk IGO (Jawa) dan IGOB (luar Jawa) yang mengatur masa jabatan Kades seumur hidup. Lalu, zaman Kolonial Jepang Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944, masa jabatan Kades selama 4 tahun. Kamudian, masa Orde Lama (1945-1966), lahir Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 1965. Pasal 9 ayat (2) disebutkan, masa jabatan kepala Praja maksimal 8 tahun dengan mempertimbangkat tingkat SDM masyarakat desa masih rendah. Perubahan ketiga, masa Orde Baru (1966-1998), pemerintah mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1979. Pasal 7 disebutkan, masa jabatan Kades 8 tahun dan dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan. Lalu masa Reformasi (1998-sekarang) telah melahirkan tiga produk hukum. Yakni, UU 22/1999, Pasal 96 menyebutikan masa jabatan Kades paling lama 10 tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan. Lalu, lahir UU 32/2004, Pasal 204, masa jabatan Kades selama 6 tahun dan dapat dipilih satu masa jabatan.

Dalam perjalanan sejarah, Indonesia pernah mengalami kondisi dimana situasi tumbuh dan berkembangnya rezim yang represif. Rezim yang iklim dan kondisinya cenderung melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme, hilangnya partisipasi politik rakyat, terbatasnya kebebasan pers, sangat minimnya peran serta masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan perampasan hak-hak rakyat. 

Potret hukum pada saat itu (orde Baru) diwarnai oleh sistem politik yang menjadikan hukum hanya sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Tatanan hukum yang dikembangkan menjadi sangat elitis dan konservatif, karena proses pembentukannya sangat sentralistik dan tidak partisipatif. Otonomi politik tampak lebih mendominasi. Sehingga kondiisi hukum dimasa itu sangat sarat dengan paradigma kekuasaan yang menghadirkan sistem hukum totaliter. Tatanan hukum tersebut tidak didasarkan pada logika hukum melainkan pada logika kekuasaan yang menjadi alat pembenaran terhadap tindakan penguasa dan alat penjaga stabilitas.

Kondisi ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi di pemerintahan desa, bukannya memaksimalkan kondisi demokrasi local dengan perbaikan kondisi politiknya, justru terjadi kemunduran. Menjadi suatu keniscayaan, bahwa lamanya seseorang menduduki jabatan rentan berakibat pada munculnya penyimpangan, akan berdampak pada aspirasi masyarakat desa yang justru akan benar-benar dinihilkan, sedangkan hasrat elite lokal untuk berkuasa justru memperoleh dukungan. Imbasnya, beragam akses politik, sosial, serta ekonomi dapat dikuasai oleh kepala desa beserta orang-orang yang dekat dengannya selama 27 tahun.

Polarisasi akibat persaingan politik di tingkat desa berbeda dengan tingkatan daerah ataupun nasional. Dampaknya sangat terasa dan cenderung berkepanjangan sehingga akan berpengaruh bagi efektivitas pemerintahan desa. Alasan perpanjangan masa jabatan kepala desa bahwa akan ringangkan anggaran pemilihan dan realisasi janji kampanye yang lebih maksimal susah untuk di rasionalkan. sebab bagaimana mungkin negara melakukan kalkulasi dengan warga negaranya dengan cara ancaman realisasi janji kampanye dengan menggadaikan prinsip demokrasi yang kita cita-citakan bersama, buah daripada reformasi yang lahir dari pembangkan kondisi politik yang otoriter dan totalitarian. apabila dipaksakan kita akan mundur jauh kebelakang. pengaruh paradigma kekuasaan terhadap tatanan kebijakan akan sangat nampak nantinya. Kekhawatiran tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa sejatinya dapat dicegah dengan melakukan pendidikan politik, perbaikan kultur politik, dan pemenuhan asas-asas pemerintahan yang baik, bukan justru dengan memperpanjang masa jabatan kepala desa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun