Mohon tunggu...
Azzam M.D
Azzam M.D Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Calon Perseorangan Bukan Pelarian Politik

8 Oktober 2017   15:56 Diperbarui: 8 Oktober 2017   16:04 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Calon Perseorangan Bukan Sebuah Pelarian Politik

oleh : Azzam M.D

Latar belakang calon independen sebenernya bukan hal yang baru. Sejak ditetapkannya Perpu No.1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang kemudian direvisi menjadi UU No. 1 tahun 2015.

Dalam pasal tersebut, calon independen tetap untuk jajaran Gubernur harus mendapatkan sedikitnya 6,5% dari jumlah penduduk, jika jumlah penduduk lebih dari 12 juta. Kalau jumlah penduduknya kurang dari 12 juta dan lebih dari 6 juta, maka suara yang harus dikumpulkan sebanyak 7,5 %. Sedangkan jika jumlah penduduknya lebih dari 2 juta dan kurang dari 6 juta, maka suara yang harus dikumpulkan sebanyak 10 % dari jumlah penduduk.

Pasal diatas jelas sekali merugikan beberapa pihak, yang salah satunya diutarakan oleh Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI). yang kemudian menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghasilkan beberapa keputusan yaitu berupa jumlah dukungan bukan didasarkan dari jumlah penduduk, melainkan hanya dari total daftar pemilih tetap pada pemilu sebelumnya. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi calon independen atau perseorangan yang maju dalam Pilkada tanpa harus menggunakan perahu partai dengan sejumlah mahar. 

Sosok yang muncul dari jalur independen bebas dari tekanan politik, karena tak berafiliasi partai tertentu. Terlihat lebih bersih karena jauh dari interpensi kepentingan Parpol.

Ketika satu kandidat independen memenangkan pemilu ia tidak akan tersandera dengan kepentingan satu kelompok politik, ongkos politik pun mampu ditekan karena kreatifitas dalam mencari dana kampanye dituntut lebih bagi calon independen.

Calon independen tentu harus rasional dalam mengukur peluang mereka agar sanggup memenangkan kontestasi pemilu. Bila melihat dana yang begitu besar untuk kampanye, mereka dituntut kreatif dan inovatif dalam menggalang dukungan.

Kandidat ini memang bisa jadi menu utama bagi mereka yang tak terlalu percaya lagi dengan kinerja partai politik. Tentu calon independen bukan sebuah pelarian politik, namun lebih sebagai calon yang punya karakteristik disukai oleh masyarakat berdasarkan ciri tertentu, misalkan bersih, berdedikasi tinggi, idealis, dekat dengan masyarakat dan memiliki prestasi yang bagus.

Tolak ukur dari itu semua bisa muncul akibat dari ketidakpercayaan publik pada produk-produk pemilu yang menghasilkan pejabat korup. Sehingga calon independen bisa menjadi satu pilihan utama bagi masyarakat yang tentu menginginkan perubahan struktur politik atau pemerintahan di daerah mereka masing-masing. Bagi-bagi keuntungan untuk "sponsor" politik memang bisa ditekan oleh sang "independen" sejati. Dengan kata lain mereka yang independen hanya berbakti pada sponsor utama, yakni rakyat sebagai pemilih.

Setelah UU No. 32 tahun 2004 diubah menjadi UU No. 12 tahun 2008 peta model kontestasi politik yang berganti. Pemimpin daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota boleh memilih pemimpinnya secara langsung walaupun tanpa kendaraan partai. Beberapa pihak melihat ini sebagai upaya de-parpol-isasi, seperti pencalonan Ahok beberapa waktu yang lalu sebelum Pilkada Jakarta 2017 berlangsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun