Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ruang Publik dan Kepakaran: Ulasan Interpretatif atas Matinya Kepakaran (Bagian Dua)

12 September 2019   20:03 Diperbarui: 12 September 2019   20:07 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal yang paling mengerikan yang bisa dilakukan seorang pakar adalah penipuan dan penyimpangan. Bagi pakar yang kebelet menanjakkan karirnya terkadang tergoda untuk melakukan kebodohan fatal seperti itu. 

Selain itu, munculnya kebiasaan menjiplak bahkan mengakui hasil karya orang lain. Hal ini yang mendorong gerakan anti-plagiarisme sebagai bentuk perlawanan terhadap virus mematikan yang menggerogoti tradisi kepakaran.

Pembohongan, pemalsuan, dan plagiarisme sebenarnya mudah dijelaskan tapi sulit ditemukan. Butuh pakar lain untuk mendeteksinya dan itupun membutuhkan proses yang tidak instan. Di internet, berlindung di balik anonimitas, seseorang bisa saja berbohong tanpa rasa malu dan mengaku sebagai pakar. Di masa lalu, Frank Abagnale pernah berhasil melakukan itu dan kisahnya dituliskan dalam Great Pretender dan populer lewat film Catch Me If You Can.

Ketika pakar berbohong, taruhannya bukan hanya kredibilitas bidang keahlian mereka namun juga mengancam klien utama mereka; masyarakat. Hal itu bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat yang tidak mudah dibangun kembali hanya dengan memecat atau menyingkirkan pakar yang berbuat kesalahan/ kebohongan itu. Musuh besar pakar adalah egonya. Merasa diri paling cerdas bisa menghancurkan seluruh karirnya seketika.

Olehnya itu, masyarakat awam selayaknya tidak menantang para pakar secara terbuka. Kewenangan dan keahlian yang mereka miliki bisa menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar bila disalahgunakan. 

Terutama meminta pakar untuk melakukan prediksi tanpa memberinya waktu yang cukup untuk mengkaji dan meneliti. Prediksi pakar diperlukan untuk antisipasi saja dan bukan untuk dipahami sebagai basis argumen sebuah kebijakan.

Relasi pakar-awam mesti dibangun dalam kerangka mutualisme; saling menghargai dan saling menguntungkan. Masyarakat awam jangan terbiasa meminta para pakar untuk meramal sekaligus aktif mendidik diri untuk mengenali mana kegagalan yang dilakukan para pakar dan mana kebohongan atau penipuan yang mereka lakukan. Para pakar mungkin akan mengecek kesalahan mereka tapi hal itu biasanya dilakukan di tempat yang tidak diketahui publik.

Jarak antara pakar dengan awam juga jangan terlalu lebar. Pakar hanya sibuk dengan pakar lainnya dan membiarkan awam hanyut oleh arus informasi palsu sedangkan awam menyibukkan diri memalsukan kualitas kepakaran sementara pakar sesungguhnya membiarkan hal itu terjadi. Pakar mesti menggunakan keistimewaan mereka untuk mengawasi pejabat publik dalam membuat keputusan.

Tindakan itu bisa sangat bermanfaat membantu masyarakat awam. Di sisi lain, masyarakat awam tidak mesti memanfaatkan demokrasi dan hak menyatakan pendapat secara bebas di ruang terbuka untuk membahas hal-hal yang seharusnya menjadi kewenangan para pakar. Pemerintah pun mesti mengawasi lembaga penjaminan standar kepakaran agar tradisi dan nilai-nilai kepakaran tidak merosot.

Pelayanan pakar kepada publik merupakan bagian dari kontrak sosial. Masyarakat awam sudah menitipkan kepercayaan besar kepada Pemerintah dan para pakar yang menjadi penasihat untuk menjalankan kehidupan sosial melalui kewenangan dan keputusan-keputusan mereka. Masing-masing pihak perlu meningkatkan kompetensi literasi dan tidak terlalu bergantung pada perangkat teknologi untuk konsumsi informasi mereka.

Kualitas literasi rendah diperparah oleh ketidakpedulian merupakan dua hal yang bisa mengancam hubungan baik pakar-awam. Situasi demokratis dan semakin meluaskan kesempatan untuk berpartisipasi di ruang publik melalui bantuan internet harus dibarengi dengan sikap kedewasaan dalam berbincang dan berdiskusi. Jikalau masih menemui awam dengan mulut besarnya di media sosial suatu saat nanti, hiraukan dan biarkan saja ia sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun