Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ruang Publik dan Kepakaran: Ulasan Interpretatif atas Matinya Kepakaran (Bagian Dua)

12 September 2019   20:03 Diperbarui: 12 September 2019   20:07 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jurnalisme dan Fakta yang Diproduksi

Merebaknya kanal berita juga turut meramaikan hiruk pikuk arus informasi di internet. Bukan saja soal pengetahuan kolektif, jurnalisme di masa semua orang selalu ingin dikagetkan dengan hal yang baru mesti mengikuti tren pasar itu. Akibatnya, tuntutan untuk selalu update terhadap kabar untuk tetap menarik perhatian pembaca membuat jurnalis terkadang berbuat sesuatu yang tidak pantas.

Tom Nichols mengutip salah satu rubrik di Washington Post tentang informasi bahwa coklat mampu menurunkan berat badan. Informasi itu diungkap oleh Johannes Bohannon, ilmuwan Jerman dari Institute of Diet and Health. Begitupun Vox di tahun 2014 menulis tentang jembatan yang menghubungkan Israel-Palestina di mana tentara Israel tidak membolehkan warga Palestina melintasi jembatan itu.

Uniknya, Johannes Bohannon adalah tokoh rekaan dan jembatan yang menghubungkan Israel-Palestina itu tidak pernah ada. Ya, produk jurnalisme sekacau itu bahkan berasal dari lembaga yang dianggap kredibel. Untuk memenuhi selera pembaca, para jurnalis itu tega merekayasa fakta dengan mengangkat penelitian ngawur atau jembatan imajinatif sebagai tajuk utama.

Para Jurnalis sudah sering dikritik atas ketidakmampuan mereka menyajikan liputan yang faktual. Dalam artian, banyak isu yang seharusnya bisa menggiring perhatian publik untuk melakukan gerakan namun mereka justru memenuhi koran dan portal berita dengan informasi sampah. Namun rekayasa hasil investigasi dan penelitian untuk membesar-besarkan isu tertentu merupakan sesuatu yang sungguh keterlaluan dan bisa sangat menyesatkan.

Taruhlah seorang awam mendebat pakar dengan dalih menggali informasi di koran atau menonton liputan di kanal berita. Sedangkan ada kemungkinan bahwa apa yang disampaikan itu direkayasa dan diatur sedemikian rupa untuk agenda tertentu. Dapat dipastikan bahwa orang awam itu hanya menyortir informasi yang ingin dia dengar dan mengabaikan informasi lainnya. Sehingga debat itu tidak akan menghasilkan apa-apa.

Masyarakat awam perlu diberi pemahaman bahwa demikianlah industri beroperasi. Fakta maupun gerakan kesadaran bukanlah tujuan utamanya. Industri jurnalisme seperti itu hanya ingin memenangkan simpati publik dengan memberikan sesuatu yang mereka senangi atau paling tidak ingin mereka tongkrongi. Sebab hal itulah yang bisa memberikan mereka ladang untuk meraup keuntungan.

Dosa besar jurnalisme model baru ini terhadap pakar adalah pelanggaran terhadap kode etik kepakaran paling dasar; jangan pernah memberitahu atau mencoba menggurui pakar lain tentang bagaimana cara menjalani profesi mereka. 

Sebab masyarakat awam yang berbekal informasi mentah dari internet atau televisi kemudian membandingkannya dengan hasil diagnosis Dokter Ahli, seumpamanya, akan menunjukkan perilaku yang luar biasa menjengkelkan.

Tom Nichols menganggap bahwa sejatinya para jurnalis adalah pakar di bidang investigasi dan liputan peristiwa lapangan. Namun sejak 'akademisasi' di mana jurnalisme dan jurusan komunikasi menjadi program studi sarjana, para calon jurnalis itu hanya dicecoki doktrin struktur berita tapi miskin kajian terapan kebiasaan dan norma terapi. Hasilnya, narasi liputannya tidak lebih dari postingan blog.

Beratnya tuntutan pasar dan keinginan manajemen kantor berita juga memaksa para jurnalis untuk bertindak 'sesuai skenario' ketimbang menuruti ideologi. Para pembaca dan penikmat liputan berita, dengan demikian, punya andil besar dalam mematikan nilai-nilai kepakaran para jurnalis. Umumnya mereka hanya ingin mengulik sisi sensasi dari sebuah kabar untuk bahan obrolan ketimbang mengikuti pendalaman investigasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun