Mohon tunggu...
Sarah Hanifah
Sarah Hanifah Mohon Tunggu... -

a life time learner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bicara Kontestasi Ruang Publik di Kota Yogyakarta

7 November 2017   17:52 Diperbarui: 7 November 2017   18:30 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Sudahkah anda mengetahui apakah itu kontestasi iklan di ruang publik? Mungkin kata tersebut memang kurang familiar dan jarang terdengar di telinga masyarakat. Kata "Kontes" menurut kbbi memilik arti perlombaan. Sedangkan --isasi/-asi memiliki arti proses. Jadi dapat disimpulkan kontestasi iklan di ruang publik merupakan sebuah proses perlombaan iklan yang dilakukan di ruang publik. Ada pun kontestasi ruang publik di Kota Yogyakarta yang menjadi kajian kali ini terus berkembang pesat dan turut berpengaruh pada aspek desain hingga sosiologi.

Kota Yogyakarta sebagai kota pelajar yang di datangi oleh para perantau dari berbagai daerah di Indonesia menjadi salah satu sasaran empuk bagi produsen iklan untuk berlomba-lomba memamerkan produk yang mereka miliki. Hampir seluruh bagian ruang publik yang ada di Kota Yogyakarta sudah didominasi oleh kontestasi iklan yang dihasilkan oleh industri kreatif. Kontestasi iklan yang ada di ruang publik terus menghiasi wajah Kota Yogyakarta dan sudah menjadi konsumsi penglihatan kita sehari-hari. Meski keberadaannya sering ditemukan mengganggu ruang publik, banyak masyarakat yang menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang biasa saja dan lumrah terjadi.

Dikutip dari buku DEKAVE, Desain Komunikasi Visual Penanda Zaman Masyarakat Global oleh Sumbo Tinarbuko bahwa, "Wajah bangunan tua di Malioboro kini tidak lagi tampak seperti aslinya. Bagian tampak depannya nyaris terselubung papan reklame berbagai produk yang lebih mencolok ketimbang nama toko yang bersangkutan. Kita dapat melihat contohnya pada gambar di atas. Pola pasang dan penataan papan nama berikut papan iklan yang terpajang disepanjang jalan Maliboro jelas menyimpang dari asas 'Citra Visual' yang pernah dikumandangkan Hamid Shirvani."

Tahukah kalian dengan adanya kontestasi ruang publik dapat membatasi ruang imajinasi kita? Kenapa demikian? Karena dalam kontestasi ruang publik, terjadi kekerasan simbolik yang dilakukan oleh iklan-iklan yang ada. Saat sedang berada di ruang publik, pandangan kita secara sengaja atau tidak sengaja akan dipaksa melihat iklan-iklan yang dipasang di sepanjang jalan. Teror-teror iklan akan terus menghantui ini secara tidak sadar telah tertanam dalam benak alam bawah sadar kita dan menjadikan kita sebagai masyarakat yang mengabdi kepada kapitalisme.

Menurut Sumbo Tinarbuko masih dalam bukunya yang berjudul DEKAVE,"Yang paling menyedihkan dalam kasus iklan yang terjadi diruang publik adalah, masyarakat dipaksa untuk menyaksikan perang visual yang semakna rapat dan saling berhimpit-himpitan. Jika hal ni dibiarkan, pemerintah sebagai pemilik lahan dinilai mendidik masyarakat untuk bertindak semaunya sendiri dengan mengedepankan sikap adigang, adigung, adiguna. Siapa yang kuat dan berkuasa akan menguasai yang dikehendakinya."

Tidak dapat dipungkiri, kehadiran iklan sejatinya telah memberikan pencerahan di bidang industri. Eksistensinya semakin diperkuat dengan kontestasi yang fenomenanya marak ditemui di ruang publik. Kata "ruang" dalam konteks ini tidak hanya menyasar kepada ruang penempatan iklan itu sendiri, tapi secara denotatif merupakan tempat dilakukannya sebuah kepentingan. Kepentingan untuk mengarahkan masyarakat kepada kehendak iklan. Bahwasannya visualisasi konten iklan luar ruang telah menjadi senjata dari kontestasi ruang publik tersebut. Seperti berpengaruh pada pembangunan ideologi iklan, melenakan masyarakat, memicu krisis moral, tergerus patokan gaya hidup ala iklan, bahkan secara fisik sering ditemukan sampah visual yang mengganggu lingkungan tempat kita tinggal.

Iklan sesungguhnya tidak hanya menjual barang atau menginformasikan event, tapi juga menawarkan nilai, yaitu nilai dari masyarakat sebagai konsumen. Nilai yang dimaksudkan ini merupakan gaya hidup yang dicekokkan agar kita selalu mengikuti arus serba baru dan serba kekinian. Bahwasannya konten dalam ajang kontestasi ruang publik ini terus mencoba untuk menyentuh emosi masyarakat dengan hiburan dan sedikit rekayasa. Menjadikan masyarakat terlena, dan terombang-ambing ibarat buih di lautan. Bahkan sebelum ilmuwan komunikasi berbicara tentang revolusi komunikasi, dalam bukunya On Liberty(1974), John Stuart Mill yang telah dikutip Idi Subandy Ibrahim dalam buku "Kritik Budaya Komunikasi" telah mengingatkan "Bahwa dewasa ini individu-individu lenyap dalam massa".

Pengaruh iklan yang begitu kuat terhadap masyarakat, memotivasi para produsen iklan luar ruang untuk terus memborbardir masyarakat dengan pesan dan konten iklan mereka. Kontestasi dinilai telah berpengaruh besar terhadap perilaku dan budaya masyarakat tanpa disadari, melalui dominasi intelektual dan kesadaran palsu. Sebagai contoh seseorang yang tengah dilanda kehausan di siang hari mampir ke warung terdekat dan meminta "Aqua" kepada si penjual, alih-alih si penjual memberi merek Ades. Atau seorang ibu dengan cuciannya yang menumpuk terburu-buru ke warung dan bilang kepada suaminya akan membeli "Rinso", tapi yang ia bawa ketika pulang adalah merek Attack. Ini merupakan salah satu contoh dari kesadaran palsu masyarakat yang telah terbentuk oleh konten yang dihasilkan dari kontestasi iklan.

Tak hanya itu, dampak dari kontestasi iklan di ruang publik yang mengiming-imingi janji-janji dan bujuk rayu kepada masyarakat turut memanipulasi cita rasa konsumen dan ideologi pasar. Iklan menggeser nilai guna menjadi nilai simbolik. Masyarakat kemudian termakan olehnya dengan mengkukuhkan cita rasa budaya masyarakat untuk memuja brand untuk mencapai status sosial tertentu. Kita bisa mengambil contoh bahwa secara simbolik, masyarakat borjuis membeli Lamborghini dibanding Avanza. Melalui iklan yang di kontestasikan di ruang publik yang memperlihatkan keperkasaan Lamborghini pada billboard mereka, mengalihkan entitas mobil sebagai alat transportasi, menjadi status kekayaan sosial.

Belum berhenti di situ, pengaruh kontestasi iklan yang disampaikan melalui pesan verbal dan visualnya juga mempengaruhi citra diri masyarakat. Seperti yang disebut oleh Peter L. Berger (1976) dalam buku Idi Subandy Ibrahim yang berjudul "Kritik Budaya Komunikasi" bahwa manusia modern terlena dan terperosok ke dalam "semesta simbolik kemodernan". Membuat masyarakat untuk terus menjadi konsumtif dan membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan. Seperti memborong pakaian, make-up, dan asesoris yang menambah kemampuan mereka untuk bersolek. Fenomena ini menimbulkan krisis moral, bahwa gaya hidup itu sebagian tercermin dari "gaya hidup iklan" yang bermula dari iklan yang dicekokkan pada ajang kontestasi yang dijumpai di setiap sudut ruang publik.

Meski begitu fenomena ini tidak dapat dihindari, sebab sejauh apa pun kita melangkah, kita akan mengendus aktivitas kontestasi di ruang publik di mana pun kaki ini berpijak. Tidak akan mampu kita untuk menanggulangi dampak globalisasi dan standar modernisasi ala kapitalis di era kekinian ini. Kontestasi tentunya tidak akan pernah berhenti apabila tidak ada kesadaran dari diri masyarakat sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun