Sawahlunto, kota tambang di Sumatra Barat, menyimpan banyak kisah kelam kolonial. Salah satu peninggalan yang sarat makna adalah Gudang Ransum, bangunan yang dahulu berfungsi sebagai dapur umum bagi buruh tambang dan orang rantai. Sekilas terlihat sebagai fasilitas logistik, namun sebenarnya Gudang Ransum merefleksikan ideologi kolonial: menguasai manusia melalui kendali atas pangan.
Dengan memusatkan urusan makanan di Gudang Ransum, pemerintah kolonial memastikan buruh cukup hidup untuk bekerja, tetapi tanpa kebebasan mengatur hidup sendiri. Makanan menjadi alat kontrol sosial: bukan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi untuk menjaga produktivitas tenaga kerja. Inilah bentuk penguasaan halus, di mana perut dijadikan pintu masuk kekuasaan.
Gudang Ransum juga menyingkap kesenjangan sosial. Para pekerja mendapat makanan seadanya, sementara pejabat kolonial hidup jauh lebih layak. Hal ini menegaskan bahwa kolonialisme tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam, tetapi juga memandang manusia sekadar alat produksi.
Kini Gudang Ransum beralih fungsi menjadi museum. Perubahan ini memberi makna baru: dari ruang penindasan menjadi ruang refleksi. Namun, tantangannya adalah bagaimana masyarakat tidak hanya melihatnya sebagai destinasi wisata, melainkan juga membaca ideologi yang pernah bekerja di balik bangunan tersebut.
Gudang Ransum adalah saksi bisu bahwa kolonialisme menundukkan manusia tidak hanya lewat cambuk, tetapi juga lewat pengendalian pangan. Dengan menyadari ideologi di balik sejarahnya, kita diajak lebih kritis melihat praktik ketidakadilan masa kini. Melestarikan bangunan ini berarti juga merawat ingatan kritis agar bentuk penindasan serupa tidak terulang lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI