Bali, siapa yang tidak mengenal pulau cantik yang menyimpan surga kecil di dalamnya? semua orang pasti tahu dengan pulau ini. Bali merupakan sebuah pulau kecil di Indonesia terletak pada koordinat sekitar 820' LS dan 11510' BT dan telah lama dikenal sebagai ikon pariwisata dunia. Pesona alam, spiritualitas Hindu Bali, dan budaya lokal yang unik menjadikan Pulau Bali sebagai salah satu destinasi paling diminati secara global. Sektor pariwisatanya menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bali (BPS Bali, 2022) menjadikannya tulang punggung ekonomi daerah.
Namun, di balik wajah pariwisata yang mempesona, Bali lagi tengah menghadapi tantangan serius, komersialisasi budaya, ketimpangan ekonomi, dan alienasi masyarakat lokal dalam industri pariwisata yang semakin dikuasai oleh investor asing dan jika masalah ini tidak dikelola dengan hati-hati, keberlanjutan pariwisata Bali bisa berubah menjadi ancaman terhadap identitas dan kedaulatan budaya lokalnya.Â
Banyak ritual, upacara, dan kesenian yang ada di Bali awalnya bersifat sakral kini berubah fungsi menjadi tontonan wisatawan. Modernisasi dan orientasi pasar membuat budaya Bali dikemas dalam bentuk pertunjukan, sehingga nilai spiritualnya mengalami degradasi. Di berbagai desa adat, tarian suci kini rutin dipertontonkan untuk turis demi tujuan ekonomi. Hal ini diperparah dengan permintaan pasar yang mengarahkan budaya lokal sesuai dengan selera pasar. Tekanan industri pariwisata global sering kali membuat masyarakat lokal harus menyesuaikan budayanya sendiri demi memenuhi ekspektasi wisatawan internasional maupun domestik (Smith, 2010).Â
Kawasan-kawasan seperti Canggu, Seminyak, Uluwatu, dan Ubud kini menjadi pusat pertumbuhan resort mewah, beach club, dan villa eksklusif dan sangat disayangkan sebagian besar dari properti ini bukan milik masyarakat lokal. Data dari Bali Investment Board (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 40% bisnis pariwisata kelas atas di Badung dan Gianyar dikuasai oleh investor asing yang bermukim jangka panjang di Bali. Bisnis jasa pariwisata seperti tour dan travel di Ubud dan Nusa Penida juga sekarang mulai dikelola warga negara asing yang memiliki sumber daya lebih besar, baik dari segi modal maupun promosi digital. Akibatnya, pelaku UMKM lokal sering kalah saing dan hanya berperan sebagai tenaga kerja saja bukan pemilik usaha. Ketimpangan yang terjadi di Bali menjadi cermin dari lemahnya peran pemerintah negara Indonesia dalam membendung arus modal asing yang terus menggerus ruang hidup masyarakat lokal (Suwena dan Wicaksono, 2017).Â
Selain itu, pertumbuhan pariwisata yang masif juga menyebabkan perubahan tata ruang desa adat. Banyaknya lahan pertanian dan ruang publik di bali diubah menjadi kawasan wisata. Penggusuran lahan masyarakat tidak hanya menghilangkan harta benda, tapi juga meretakkan jejaring sosial dan melemahkan rasa kebersamaan yang menjadi jiwa komunitas Bali. Ikatan antara manusia, alam, dan budaya yang menjadi filosofi hidup masyarakat Bali (Tri Hita Karana) mulai terganggu. Fenomena ini juga dapat memicu alienasi dan dislokasi sosial dalam komunitas lokal. Masyarakat yang dulunya memiliki hubungan erat satu sama lain kini mengalami keterputusan dari ruang hidupnya sendiri, upacara adat yang dulu dilaksanakan secara bersama-sama kini mulai kehilangan makna karena ruang-ruang sakral telah beralih fungsi menjadi komoditas wisata, rasa keterikatan terhadap tanah leluhur perlahan memudar karena tekanan ekonomi dan pergeseran nilai budaya yang didorong oleh tuntutan pasar global. Akibatnya, masyarakat tidak hanya kehilangan tempat tinggal secara fisik, tetapi juga kehilangan tempat dalam sistem sosial dan budaya mereka.Â
Karena itu sebagai upaya untuk menjawab permasalahan diatas, sangat diperlukan penguatan regulasi dari pemerintah daerah maupun pusat untuk membatasi perluasan investasi asing yang tidak berpihak pada masyarakat lokal. Peraturan mengenai kepemilikan lahan dan usaha pariwisata harus dikaji ulang dengan mempertegas batasan bagi warga negara asing agar tidak mendominasi ekonomi lokal. Selain itu, pengembangan pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism) harus diperluas sebagai alternatif pembangunan yang berkelanjutan, adil dan merata. Dalam model ini, masyarakat lokal didorong untuk menjadi pelaku utama bukan hanya sekadar penonton dalam mengelola aset budaya dan lingkungannya. Pemerintah juga perlu memberikan pelatihan, pendampingan usaha, dan akses modal bagi UMKM lokal agar dapat bersaing di tengah dominasi modal besar dan tak kalah pentingnya, upaya pelestarian budaya harus dikembalikan ke tangan masyarakat lokal, bukan untuk dipertontonkan sebagai atraksi wisata semata. Menanamkan nilai budaya sejak usia muda serta memperkuat ruang-ruang publik berbasis kearifan lokal dapat menjadi pijakan utama dalam menjaga jati diri komunitas sekaligus menciptakan pariwisata yang terbuka untuk semua dan berkelanjutan.Â
Pariwisata di Bali ibaratnya dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang, di satu sisi pariwisatanya membawa kemakmuran dan lapangan kerja, tetapi di sisi lain menyimpan potensi krisis budaya dan ketimpangan ekonomi yang serius. Ketimpangan kepemilikan aset oleh investor asing, komersialisasi budaya yang mengikis makna asli, serta pergeseran sosial masyarakat lokal merupakan persoalan yang tidak bisa lagi diabaikan. Dengan pemerintah daerah dan pusat menerapkan regulasi yang tegas dan berpihak pada masyarakat lokal, mengembangkan model wisata berbasis komunitas yang melibatkan semua pihak, serta melindungi dan melestarikan nilai-nilai budaya, Bali sangat memiliki peluang menjadi contoh utama pariwisata berkelanjutan yang adil, berdaulat, dan tetap menjaga jati diri lokalnya.Â
Sumber:
Ernawati, N. M., Sudarmini, N. M., & Sukmawati, N. M. R. (2018). Impacts of Tourism in Ubud Bali Indonesia: A community-based tourism perspective. Journal of Physics: Conference Series, 953(1). https://doi.org/10.1088/1742-6596/953/1/012078
Gede Sutarya, I. (2022). Spiritual Tourism as Sustainable Tourism in Bali. International Journal of Tourism and Sprituality, 5(2), 187--198. https://doi.org/10.22133/IJTCS.2023.374762.1113
Picard, M. (1995). Cultural Heritage and Tourist Capital: Cultural Tourism in Bali. https://www.researchgate.net/publication/302191916