Mohon tunggu...
Aziizirrahiim
Aziizirrahiim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti

Haloo! Saya Aziz (Muhammad Ibdi Nur Aziizirrahiim), mahasiswa penerima Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2018 di STP Trisakti prodi S1 Pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Mural dan Kebebasan Mengkritik Pemerintah

20 Agustus 2021   10:48 Diperbarui: 20 Agustus 2021   10:53 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural 'Jokowi 404: Not Found' (Sumber: Kaskus/Adamfachrizal)

Mengutarakan kritik dan aspirasi pada masa kini dapat melalui banyak media, seperti melalui media sosial sampai dengan cara klasik yaitu media dinding yang biasa disebut mural. Mural adalah cara melukis dengan menggunakan media dinding atau tembok dan permukaan luas yang sifatnya permanen.

Biasanya mural yang berisi kritik digambarkan dengan karikatur atau hanya sekedar kalimat kritik. Baru-baru ini masih hangat pemberitaan mengenai penghapusan sejumlah mural yang berisikan kritik terhadap pemerintah sehingga menimbulkan pertanyaan, sampai batas mana sebenarnya kritik yang boleh disampaikan?

Kritik yang disampaikan menggunakan mural telah lama digunakan seniman ataupun masyarakat. Namun, rasanya sekarang mural terkait dengan kritik yang disampaikan dengan gambar Presiden Jokowi dan bertuliskan "404: Not found" menjadi hal yang kontroversial di masyarakat.

Memang kebebasan berpendapat diatur dalam Undang-Undang, terutama Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Kenyataannya banyak masyarakat yang berdalih atas dasar kebebasan berpendapat membuat kritik yang disampaikan menjadi kurang pantas.

Mural 'Dipaksa sehat di negara yang sakit'. (Sumber: Facebook/Koran FB)
Mural 'Dipaksa sehat di negara yang sakit'. (Sumber: Facebook/Koran FB)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menyampaikan pendapat di muka umum antara lain kritik yang disampaikan harus sesuai pada tempatnya dan muatan kritik yang disampaikan harus berdasarkan data, tidak menimbulkan ujaran kebencian, serta bukan berita bohong atau hoax. Kita orang timur memiliki adat, kalau mengkritik sesuatu harus beradab. Tata krama harus di kedepankan.

Sejalan dengan keterangan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi saat menanggapi kritik dari BEM UI beberapa waktu lalu, yang menyatakan bahwa Pemerintah tidak anti terhadap kritik dan masukan. Presiden juga menambahkan, bahwa menyampaikan kritik kepada pemerintah hukumnya sah-sah saja selama kritik yang disampaikan tidak menyalahi norma dan etika yang ada.

Lalu kenapa mural yang berisi kritikan terhadap Pemerintah belakangan ini seperti dibungkam? Perlu diketahui bahwa melukis mural bermuatan kritik harus mendapat izin dari pihak terkait, terlebih mural terletak pada kawasan pusat kota atau tempat yang seharusnya tidak dilukis sembarangan.

Kondisi sebelum-sesudah mural 'Merdeka atau mati'. (Sumber: Facebook/Keseharian di UM)
Kondisi sebelum-sesudah mural 'Merdeka atau mati'. (Sumber: Facebook/Keseharian di UM)

Penggunaan mural bergambarkan Presiden Jokowi tersebut jika dibiarkan maka dikhawatirkan memicu mural-mural yang lain sehingga akan merusak tatanan kota. Selain itu, jika keadaan dibiarkan tidak terkontrol maka berpotensi menimbulkan ujaran kebencian kepada Presiden dan dapat memperkeruh situasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun