Mohon tunggu...
mochamad azis nasution
mochamad azis nasution Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis

berbagi pengetahuan dan pengalaman...

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi Buku "Menggugat Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Kasus MSAA BDNI"

29 Mei 2019   12:29 Diperbarui: 29 Mei 2019   12:47 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta. Membaca buku "Menggugat Keadilan dan Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Masalah MSAA BDNI" terbitan Rajawali Press, yang isinya merupakan buah pikiran para pakar hukum yang melakukan eksaminasi terhadap putusan perkara  Syafruddin Arsyad Temenggung. Kita seperti dibawa ke lorong waktu, gelapnya para pencari keadilan dan kepastian hukum di negeri ini. Terlihat jelas bahwa kasus yang menimpa eks Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung adalah kasus perdata bukan kasus  pidana. Tuduhan bahwa Syafruddin melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara senilai 4,5 Trilyun dibantah oleh para pakar hukum dengan argumen - argumen yang sangat meyakinkan. 

Buku setebal  375 halaman itu merangkum pemikiran para ahli hukum perdata, ahli hukum pidana,ahli  hukum administrasi negara dan ahli hukum tata negara mengenai persoalan MSAA BDNI.  Mereka diantaranya adalah  Prof. Eddy OS Hiariej SH, Mhum,  Prof. Dr. An An Chandrawulan SH, LLM, Prof  Yusril Ihza Mahendra, Prof. I Gede Pantja  Astawa, SH, MH dan Prof Ade Saptomo. Mereka menyampaikan pemikiran dan pendapatnya mengenai kasus yang menimpa Syafruddin  Arsyad Temenggung dari  bidang keilmuan yang mereka kuasai.

Dalam kata pengantar buku tersebut dikatakan bahwa putusan pengadilan yang menimpa Syafruddin Arsyad Temenggung jauh dari rasa keadilan. Lantaran banyak fakta-fakta hukum yang muncul dalam persidangan diabaikan oleh Judex Factie. Kontruksi hukum yang dibangun seolah olah menjadikan Syafruddin sebagai "master mind" dalam menghapuskan tagihan pemerintah terhadap salah satu pemegang saham pengendali eks PT Bank Dagang Nasional Indonesia ( "Bank BDNI") yaitu Sjamsul Nursalim.Padahal berdasarkan fakta hukum, Syafruddin baru diangkat menjadi Ketua BPPN oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 22 April 2002.

Kontruksi hukum yang dibangun dalam proses dakwaan dan penuntutan memaksakan kehendak dengan mencampuradukan antara "kewajiban petani tambak" dengan "kewajiban Sjamsul Nursalim". Kedua permasalahan tersebut, pada dasarnya sudah terjadi jauh sebelum Syafruddin menjadi Ketua BPPN dan bahkan penyelesaian atas kedua permasalah tersebut sudah diputuskan dan diselesaikan sebelum Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi ketua BPPN. Kedua subyek hukum juga berbeda, pihak debitur dalam kewajiban petani tambak adalah para petambak. Sedangkan debitur dalam kewajiban Sjamsul Nursalim selaku eks pemegang saham pengendali Bank BDNI. Siapapun yang memahami kasus ini akan geleng - geleng kepala, melihat konstruksi hukum yang penuh distorsi dipaksakan. 

Dari segi perjanjian yang melahirkan kewajiban: Utang para petambak lahir karena perjanjian kredit antara "para petambak" dengan Bank BDNI, sedangkan Utang Sjamsul Nursalim lahir karena perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam Program PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), dimana Sjamsul Nursalim "mengakui dan mengambilalih kewajiban" Bank BDNI kepada Pemerintah cq BPPN berdasarkan suatu perjanjian perdata berupa Master Setlement and Acquisition Agreement (MSAA).

Penyelesaian kedua permasalahan tersebut juga dilakukan berdasarkan Keputusan KKSK, yang dibahas dan melibatkan para Menteri dibidang perekonomian, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Tim Pengarah Bantuan Hukum (TPBH) dan pihak lainnya,  bukan hanya oleh Syafruddin Temenggung selaku Ketua BPPN. Oleh karenanya, siapapun yang menjadi Ketua BPPN tentu wajib menjalankan perintah dan kebijakan yang diambil oleh KKSK atau menteri yang membawahi seorang Ketua BPPN. Jadi sangat aneh, jika menempatkan Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi "master mind"dalam proses menerbitkan Surat Kewajiban Pemegang Saham bagi para debitur yang sudah menyelesaikan kewajibannya sesuai perjanjian MSAA.

Dalam argumentasi hukum Judex Factie, dibenturkan seolah-olah kebijakan dan/atau keputusan KKSK dalam memberikan penghapusan piutang Pemerintah kepada "para petambak", dianggap sebagai penghapusan "kewajiban Sjamsul Nursalim. Kekacauan Judex factie dalam membedakan "subyek hukum" diantara kedua permasalahan di atas, semakin diperparah dengan argumentasi hukum bahwa perbuatan dan/atau tindakan BPPN harus juga tunduk pada Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004 (UU Perbendaharan Negara). Padahal BPPN baru dibubarkan pada tanggal 30 April 2004 berdasarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran dan Pembubaran BPPN (Keppres No. 15 Tahun 2004). Kewenangan BPPN itu tunduk pada UU Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998), bukan pada UU Perbendaharaan Negara.  

Kegagalan Judex Factie dalam melakukan analisa dan argumentasi atas fakta-fakta hukum di atas, menyebabkan Syafruddin harus meringkuk dibalik jeruji besi, karena dianggap merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Dalil Jaksa Penuntut Umum KPK yang diamini juga oleh Judex Factie terkait "tempus delicti" dari kerugian negara sangat tidak masuk akal. Dalam Surat Dakwaan dan/atau Tuntutan yang merujuk pada Laporan BPK Tahun 2017 disebutkan bahwa kerugian negara terjadi akibat penjualan Piutang Pemerintah terhadap Petambak (Utang Petambak dengan nilai buku Rp 4,8 miliar) kepada pihak lain yang terjadi pada tahun 2007 oleh PT Perusahaan Pengelola (Perseroan) dan Menteri Keuangan, dengan harga Rp 220 miliar. Bagaimana mungkin kerugian yang terjadi akibat penjualan pada tahun 2007 yang dilakukan oleh PT PPA dengan persetujuan Menteri Keuangan dibebankan kepada Syafruddin yang sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua BPPN sejak 30 April 2004.

Kejanggalan lain adalah terkait dengan Laporan BPK Tahun 2017 yang dipaksakan harus menemukan unsur kerugian negara, padahal terkait permasalahan dalam perkara tersebut, BPK pada tahun 2002 dan 2006 telah melakukan audit yang menyimpulkan bahwa pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham, yang disebut oleh KPK sebagai Surat Keterangan Lunas (SKL) pada tanggal 26 April 2004  sudah dinyatakan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak menemukan adanya kerugian negara. Auditor BPK pada tahun 2017 bahkan mengakui hanya melakukan audit atas dokumen dan/atau data yang "diserahkan" oleh penyidik KPK saja. 

Artinya, Auditor BPK tahun 2017 telah sangat gegabah mengabaikan atau menyembunyikan data dan/atau dokumen yang dijadikan obyek audit yang pernah diterima oleh para Auditor BPK pada tahun 2002 dan 2006.  Ini membuktikan Auditor BPK pada tahun 2017 tidak menjalankan fungsi audit secara independen, sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh oleh Auditor BPK sesuai UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK).

Judex Factie juga mengabaikan peristiwa krisis keuangan yang melanda Asia pada tahun 1997/1998 seolah-olah sebagai suatu "kondisi normal", bukan sebagai suatu peristiwa force majeure atau "kondisi tidak normal", yang harus diselesaikan oleh Pemerintah dengan menggunakan perangkat atau instrumen hukum yang harus mempunyai kewenangan luar biasa, karena jika dijalankan dengan "kewenangan normal", tidak dapat Pemerintah cq BPPN mengambil langkah-langkah yang cepat untuk memulihkan perekonomian nasional yang sudah terpuruk. Kejadian krisis tahun 1997/1998, terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi negara -negara Asia lainnya juga berimbas karena krisis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun