Mohon tunggu...
Azhar Ilyas
Azhar Ilyas Mohon Tunggu... -

Menulis membuat Anda seperti hidup kembali...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tuhanlah Yang Maha Sempurna

15 Agustus 2012   09:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:44 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS Ar-Ra’du (13):28).

Setiap kali sehabis shalat, kita melantunkan kalimat zikir seusai shalat. Kalimah-kalimah thayyibah tersebut; tasbih, tahmid dan takbir tak henti-hentinya terucap dari bibir kita.

Tapi tahukah pembaca yang dirahmati Allah Swt., terdapat makna yang begitu mendalam dalam kalimah-kalimah zikir tersebut.

Salah satu dari kalimat zikir tersebut adalah kalimat tasbih; subhaanallah yang artinya Maha Suci Allah mengandung makna bahwa hanya Allah Swt. sajalah yang Maha Suci. Hanya Dia saja yang Maha Sempurna. Sedangkan kita manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Dan oleh karena itu hendaklah kita saling maaf memaafkan.

Dalam keseharian kita, kita seringkali menyimpan dendam dan amarah yang berlarut-larut, berkepanjangan.

Alkisah suatu hari seorang guru ingin memberi pelajaran kepada murid-muridnya. Guru tersebut menyuruh murid-muridnya untuk membawa kentang. Kentang yang dibawa jumlahnya, adalah sebanyak orang yang mereka benci atau kesal terhadapnya. Setelah dirasa penjelasannya telah dapat dimengerti, anak-anak tersebut kemudian pulang. Dalam pikiran para murid tugas yang diberikan oleh sang guru adalah teramat mudah.

Keesokan harinya anak-anak tersebut datang ke sekolah membawa banyak sekali kentang. Ada yang membawanya sebuah. Ada yang dua buah. Bahkan ada yang sampai sepuluh buah.

Kepada murid-muridnya tersebut sang guru kemudian memerintahkan agar kentang tersebut dimasukkan ke dalam kantong kresek dan dibawa kemanapun mereka pergi. Saat mereka ke kantin, mereka membawa kantong kresek berisi kentang tersebut. Saat bermain mereka juga membawa kentang terebut. Bahkan jika mereka pergi ke kamar kecil mereka tetap harus membawanya.

Hari demi hari berlalu.

Hari pertama, mereka masih sanggup membawa kentang-kentang tersebut. Hari kedua, ketiga dan seterusnya… kentang-kentang tersebut telah menjadi semakin membusuk dan menimbulkan bau menyengat yang tidak sedap. Semakin sulit bagi murid-murid tersebut karena kentang yang sudah membusuk itu harus mereka bawa kemana-mana. Saat mereka makan. Saat mereka belajar. Dan bahkan saat mereka tidur.

Setelah para murid mengadukan hal tersebut kepada gurunya, sang guru kemudian tersenyum. Lalu ia berkata, “Anak-anak, perhatikanlah kentang-kentang tersebut.”

Para murid mendengarkan dengan seksama.

“Kentang-kentang tersebut mewakili orang-orang yang kalian benci. Rasa benci, seperti halnya kentang tersebut, kalian bawa-bawa dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa kalian sadari, kebencian itu akan merasuk ke dalam hati kalian, menggerogoti kebaikan-kebaikan yang telah kalian lakukan selama ini. Lama kelamaan hati kalian tidak dapat lagi mengenali kebaikan. Lantaran telah dihancurkan oleh rasa benci dan kedengkian kepada orang lain, pungkas sang guru menutup pelajarannya hari itu.

“Kemarahan adalah air keras yang akan lebih merusak bejana tempat penyimpanannya daripada benda-benda yang disiram dengannya.” (Mahatma Gandhi).

Memaafkan yang sejati berarti melupakan, membiarkannya berlalu, dan bergerak maju. Seorang penulis ternama, Stephen R. Covey menceritakan, bahwa dirinya pernah menerima telepon dari seorang manajernya, yang ingin mengundurkan diri karena cara yang dilakukan oleh atasan langsungnya saat mengkritik dirinya.

Covey meminta manajernya itu untuk tidak tergesa-gesa mengambil keputusan semacam itu sampai dapat bertatap muka dengan manajer itu. Sang manajer mengatakan, “Saya menelepon bukan untuk meminta pendapat Anda, tetapi untuk member tahu Anda. Saya mengundurkan diri.”

Covey kemudian segera menyadari bahwa dirinya tak sepenuhnya mendengarkan pendapat sangmanajer. Covey lalu mulai mendengarkan pendapatnya. Dia kemudian menumpahkan pengalaman-pengalaman buruknya, keluhan, kejengkelannya, dan banyak lagi yang telah dilontarkan oleh istrinya. Saat Covey benar-benar mendengarkannya, energi negatif dalam pernyataannya berangsur-angsur lenyap, dan dia sendiri akhirnya setuju untuk bertemu dengan Covey di waktu berikutnya.

Saat mereka bertemu, sang manajer tersbut membawa istrinya ke kantor Covey. Dari luar mereka tampak begitu santai, tetapi begitu mereka mulai membahas permasalahan yang sebenarnya, kemarahan dan kebencian yang mendalam mengalir keluar.

Covey mencoba mendengarkan keduanya sampai mereka merasa dipahami, dan kemudian menjadi amat terbuka. Covey kemudian memaparkan kepada pasangan suami istri tersebut mengenai ruang terbuka stimulus dan respons, dan bahwa bahaya yang paling besar tidak berasal dari apa yang dilakukan orang terhadap kita tetapi dari respons kita terhadap apa yang mereka lakukan terhadap kita.

Pada awalnya pasangan suami istri tersebut berpikir bahwa Covey sedang memanipulasi mereka agar sang suami alias si manajer itu tidak mengundurkan diri. Jadi, Covey memutuskan untuk terus mendengarkan sampai masalah-masalah lain disingkapkan dan dipahami, termasuk bagaimana masalah-masalah di tempat kerja ini telah mempengaruhi pernikahan mereka dan kehidupan keluarga mereka. Benar-benar seperti mengupas bawang, lapis demi lapis, hingga Anda mencapai inti yang lunak.

Pada saat tersebut mereka menjadi amat terbuka dan bersedia untuk belajar, maka saya menekankan lagi kekuatan pilihan dan menyatakan bahwa mungkin mereka perlu mempertimbangkan untuk minta maaf kepada atasan si suami atas kebencian dan kemarahan dirinya terhadap atasannya itu. Maka jawaban yang diperolehnya adalah, “apa maksud Anda? Anda membalik ini semua. Bukan kami yang harus minta maaf—dia yang harus meminta maaf kepada kami.

Energi-energi negatif kembali dilepaskan sampai mereka benar-benar terbuka terhadap gagasan bahwa tidak seorang pun yang bisa melukai hati kita tanpa persetujuan kita sendiri, dan bahwa respon yang kita pilih merupakan penentu utama dari kehidupan kita—bahwa kita adalah hasil dari keputusan-keputusan yang kita buat, dan bukan dari kondisi kita. Mereka menjadi amat rendah hati dan setuju untuk memikirkan hal itu.

Si manajer kemudian menelepon Covey dan mengatakan bahwa dia akhirnya bisa melihat kebijaksanaan dan prinsip-prinsip yang telah mereka bahas bersama Covey dan menerimanya. Kemudian dia menghadap atasannya dan meminta maaf. Atasannya benar-benar terhanyut oleh pengungkapannya itu, dan atasannya tersebut pada gilirannya juga minta maaf kepadanya, dan hal itu telah memperbaiki hubungan mereka.

Seorang teman Covey mengatakan bahwa manajer tadi dan istrinya telah mencapai titik penerimaan yang mendalam terhadap ruang antara stimulus dan respon maupun kekuatan pilihan, sehingga bahkan jika atasannya menganggap remeh tindakan mereka untuk minta maaf, dia telah bertekad untuk terus berusaha dan membuat keberhasilan semampu yang mereka lakukan.

Pemberian maaf memutuskan lingkaran sebab akibat, karena orang yang “memaafkan” kamu—karena cinta—mengambil alih beban konsekuensi dari apa yang telah kamu lakukan. Pemberian maaf, dengan demikian selalu diikuti oleh sebuah pengorbanan.” (Dag Hammarskjold)

Bukan gigitan ular yang beracun yang menimbulkan bahaya serius, tetapi mengejar ular untuk menangkapnya yang mendorong racun tersebut sampai ke jantung. Karena kita semua membuat kesalahan, kita semua perlu member dan meminta maaf. Lebih baik untuk berfokus pada kesalahan kita sendiri dan minta maaf daripada berfokus kepada kesalahan orang lain dan menunggu mereka untuk minta maaf terlebih dahulu, atau memberikannya sambil menggerutu saat mereka minta maaf.

Para pembaca yang dirahmati Allah.

Memaafkan adalah jalan tercepat bagi kita untuk menuju kelapangan hati. Memang, adakalanya kita tetap mesti menjaga batas agar orang yang kita beri maaf terebut tidak melakukn kesalahan yang sama. Akan tetapi memaafkan terlebih dahulu adalah lebih baik.

Saya akan menyampaikan kutipan yang saya peroleh dari facebook seorang kawan: “Kesempurnaan manusia adalah dengan ketidaksempurnaannya. Maka jadilah pribadi yg pemaaf agar kita tidak disibukkan dengan perasaan kecewa dan sakit hati atas perbuatan orang lain”.

“Kemarahan adalah air keras yang akan lebih merusak bejana tempat penyimpanannya daripada benda-benda yang disiram dengannya.”

(MAHATMA GANDHI)

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun