"Jodoh-jodohan lagi? Ogah!"Â
 "Tentara lho."
"Ogah. Sekali ogah tetap ogah!"
"Ayah dan Bunda sudah tua, kamu harus mengerti. Kamulah kebanggaan kami. coba pikirkanlah!" desak Ayah.
"Semua orang minta dimengerti! Perasaan Sasha sendiri gimana nggak ada yang perduli, Ogah tetap Ogah!"
"Tapi itu Tante Nana sudah susah payah mencarikan!"
"Sasha nggak minta! Siapa suruh cari-cariin? Memangnya Sasha ini apa? Kalau mau cariin jodoh tuh makhluk halus, atau alien, atau apa gitu. Selama masih manusia saya ogah!"
"Sha!" Bunda memekik.
Perdebatan itu terjadi saban hari. Tiap Sasha pulang dari mengajar. Begitu selalu. Sama. Selalu. Ayah Bunda selalu menekan Sasha untuk berkeluarga. Â
Alasan usia yang hampir masuk kepala tiga, alasan Ayah dan Bunda sudah tua, perempuan harus menikah sebelum lewat usia dua puluh lima-an, basi! Berkali dijodohkan, Sasha tetap menolak.
Sasha bersikeras. Sasha si feminis tidak butuh nikah. Itu cuma budaya lama yang harus dimusnahkan. Terpenjara dengan hubungan bertahun-tahun, lalu tidak bahagia namun dipaksakan terus bersama sampai mati. Perek saja dibayar jam-jaman buat ngangkang. Masa Sasha cuma dibayar nafkah gaji seorang lelaki buat menemaninya hidup sampai mati? Yang benar saja?