Ahmad baihaqi (2313111024)Â
Universitas kh. Mukhtar syafaat
Pengangguran di Indonesia: Tinjauan Kritis Ekonomi Syariah
Tingkat pengangguran Indonesia masih memprihatinkan. Data BPS Agustus 2024 menunjukkan angka pengangguran sebesar 4,91%. Meskipun lebih rendah dibanding dekade sebelumnya, jumlah pencari kerja yang tidak terserap masih mencapai jutaan orang. Misalnya, survei 2009 menunjukkan dari 21,2 juta angkatan kerja terdapat 4,1 juta penganggur (22,2%), termasuk sekitar 2 juta lulusan diploma yang kesulitan mendapat kerja. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya mismatch antara kemampuan masyarakat dengan lapangan kerja yang tersedia. Perlu dicermati faktor struktural penyebabnya: ketergantungan pada investasi asing yang padat modal, ketimpangan distribusi pendapatan, dan kebijakan ekonomi yang cenderung mengabaikan daya serap tenaga kerja lokal. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi yang dicapai lebih banyak dinikmati oleh elit industri (minyak, tambang, properti), sementara kalangan menengah-bawah masih terpinggirkan. Akibatnya, produktivitas meningkat justru bersamaan dengan meningkatnya kesenjangan kekayaan.
Kritik terhadap Sistem Ekonomi Konvensional
Banyak ekonom dan pengamat mengkritik bahwa sistem ekonomi konvensional/neoliberal yang dikedepankan Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab tingginya pengangguran. Neoliberalisme menekankan deregulasi pasar, liberalisasi perdagangan, dan peran negara yang minimal. Dalam praktiknya, kebijakan ekonomi Indonesia di era reformasi--misalnya privatisasi BUMN dan kemudahan investasi asing--memang berhasil meningkatkan pertumbuhan. Namun kritik pedas muncul ketika pertumbuhan tersebut tidak diiringi pemerataan manfaat. Menurut para kritikus, model neoliberal tak menjamin adanya "trickle down" kepada masyarakat luas. Sebaliknya, pelbagai studi menunjukkan dampak negatifnya: tingginya ketimpangan, lonjakan pengangguran, serta menurunnya posisi tawar pekerja. Keynes, misalnya, sudah mengingatkan bahwa menjauhkan negara dari ranah ekonomi justru bisa menimbulkan instabilitas dan pengangguran tinggi. Pengalaman Indonesia memperkuat argumentasi ini. Presiden sebelumnya menyatakan bahwa neoliberalisme tidak tepat bagi kita, karena pertumbuhan tanpa penciptaan lapangan kerja tidak akan menaikkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang terkesan hanya mengejar efisiensi pasar tanpa intervensi sosial telah membatasi kesempatan kerja. Hal ini tampak dari lemahnya penyerapan tenaga kerja oleh sektor modern dan masih tingginya "pengangguran akademik".
Sebagai contoh, meski investasi asing meningkat, serapan tenaga kerja per unit investasi cenderung menurun. Investasi lebih banyak disalurkan ke sektor padat modal daripada padat karya, sehingga penciptaan lapangan kerja tidak optimal. Selain itu, ketidakadilan sosial dalam distribusi kekayaan makin nyata: sebagian besar aset negara terkonsentrasi di tangan segelintir orang kaya. Dalam sistem kapitalis, pencapaian PDB sering dijunjung tinggi sementara persoalan distribusi dan keadilan diabaikan. Padahal dalam ajaran Islam, prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan umat menjadi landasan utama. Ketimpangan ekonomi yang tajam tidak hanya menimbulkan kemarahan sosial, tetapi juga melahirkan pengangguran struktural---karena sebagian penduduk tidak diberi peluang yang layak.
Pendekatan Ekonomi Syariah dan Pandangan Pemikir Islam
Ekonomi Islam menekankan bahwa tujuan ekonomi bukan semata akumulasi kekayaan, melainkan kesejahteraan masyarakat keseluruhan. Imam Al-Ghazali, misalnya, menggarisbawahi pentingnya keadilan dalam penyebaran kekayaan dan peran negara mengatur ekonomi secara adil. Menurut Al-Ghazali, kekayaan harus dipandang sebagai alat mencapai kebahagiaan sosial, bukan hanya keuntungan material individu. Oleh sebab itu ia menekankan pemerintah bertugas menata kegiatan ekonomi agar tidak terjadi penimbunan dan spekulasi yang merugikan rakyat kecil. Ia menilai tindakan curang (seperti menimbun barang atau memanipulasi harga) adalah dosa besar. Konsep fair price yang diperkenalkan Al-Ghazali (al-tsaman al-'adl) menunjukkan bahwa harga pasar harus ditentukan secara adil, tidak semata mengikuti kekuatan permintaan pasar. Bahkan ia membatasi keuntungan wajar penjual sekitar 5--10% untuk mencegah eksploitasi.
Pemikir Islam kontemporer turut menyoroti tema keadilan ekonomi. Prof. M. Quraish Shihab, misalnya, dalam bukunya Syariah: Ekonomi, Bisnis, dan Bunga Bank membahas prinsip syariah dalam keuangan dan bisnis. Ia menjelaskan bahwa ajaran Islam memuat kaidah efisiensi pasar sekaligus menegaskan tanggung jawab sosial, seperti peran pemerintah dalam menjaga keseimbangan ekonomi. Dalam daftar topiknya, Quraish Shihab membahas keterlibatan pemerintah dalam ekonomi, nilai iman dan akhlak dalam berbisnis, serta pentingnya mencari rezeki secara halal dan etis. Artinya, tokoh seperti beliau mengingatkan bahwa pencarian nafkah tidak boleh menyalahi syariat, dan pemerintah harus hadir sebagai fasilitator keadilan. Pandangan kontemporer ini sejalan dengan pemikiran klasik bahwa prinsip ekonomi Islam (maqid al-syar'ah) meliputi perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta---semua bertujuan menciptakan masyarakat sejahtera dan adil.
Solusi Ekonomi Syariah untuk Pengangguran