Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Antara Pacar dan Pagar (Evolusi Cinta Monyet #2)

11 Agustus 2010   02:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:08 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Posesif. Kata itu hampir dapat dipastikan terdengar negatif di telinga orang-orang, terutama kaum muda-remaja yang sudah mengenal istilah pacaran. Posesif mengacu pada sifat pasangan yang menjaga pasangannya terlalu berlebihan, sampai-sampai membatasi kebebasan atau ruang gerak pasangannya. Orang-orang yang posesif biasanya mudah cemburu dan selalu memonitor pasangannya. "Sekarang di mana?" "Sedang apa?" "Dengan siapa?" dan segudang pertanyaan sejenis akan selalu menempel di lidah pasangan yang posesif, siap untuk dikeluarkan setiap kali ia dan pasangannya sedang tidak bersama-sama. Kebanyakan orang menghindari tipe pasangan yang seperti ini, walaupun kadang justru ada yang merasa lebih nyaman memiliki pasangan posesif. Mereka yang menghindari jenis pasangan posesif mungkin merasa terlalu dikekang. Pertanyaan-pertanyaan dan sikap-sikap memagari yang diekspresikan si posesif dirasakan sebagai hal yang tidak nyaman. Namun sebaliknya, justru ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah bentuk perhatian dan kasih sayang dari si posesif. Tiap pasangan pasti memiliki kadar posesif di dalam dirinya, namun seberapa jauh kita bisa menoleransi sikap posesif dari pasangan kita? Seberapa jauh pula kita seharusnya menunjukkan sikap posesif kepada pasangan kita? Yang paling penting, apakah sikap posesif itu wujud cinta kepada pasangan, atau justru cinta pada diri sendiri? Seperti monyet yang akan marah jika pisang miliknya didekati oleh monyet lainnya, demikianlah mereka yang masih mengalami cinta monyet akan sangat marah jika pacarnya didekati oleh orang lain, dan biasanya yang menjadi objek kemarahannya justru adalah sang pasangan, karena dianggap memberi angin pada orang lain tersebut. Alih-alih menjadi pacar yang biasa-biasa saja, si posesif lebih suka menjadi "pagar" bagi pasangannya. Semua kegiatan pasangan dimonitor, kalau perlu dia merelakan dirinya mengantar dan menjemput pasangannya dalam tiap kegiatannya, sekedar memastikan bahwa tak ada "monyet" lain yang mendekati "pisang"nya. Lebih jauh lagi, jika si posesif sedang tak bisa mengantar atau menjemput, dia bisa melarang pasangannya untuk bepergian ke luar rumah! Saya pernah mendapat cerita tentang seseorang yang sangat-sangat posesif kepada pasangannya. Saking posesifnya, bahkan bepergian dengan sahabat-sahabatnya yang notabene sesama jenis pun dilarang! Hal tersebut tentunya sangat menjengkelkan bagi sahabat-sahabat si pasangan, namun mereka tak bisa berkata apa-apa karena si pasangan pun ternyata lebih memilih si posesif. Ketika sahabat-sahabat si pasangan ini mempertanyakan "kebijakan" si posesif itu, jawaban yang dia berikan adalah, "Karena dia adalah milikku." Mereka tentulah menjadi sangat jengkel dengan jawaban itu, dan yang lebih membuat jengkel adalah, sahabat-sahabat itulah yang "menjodohkan" mereka berdua hingga resmi berpacaran! Sikap posesif yang dimiliki oleh para monyet selalu berkutat pada diri sendiri. Inilah ciri khas cinta monyet: berkutat pada ego pribadi. Meski dibungkus dengan ribuan kata cinta dan sayang, namun sikap-sikap posesif yang ditunjukkan selalu dinyatakan sebagai upaya untuk melindungi eksistensi diri si posesif, bukan pasangannya. Si posesif mungkin merasa perjuangannya untuk merebut hati pasangan begitu berat sehingga dia tidak rela jika pasangannya mengalihkan cintanya pada orang lain. Dia lupa, bahwa pasangannya itu pun ciptaan dan milik Tuhan sama seperti dirinya. Dus, sebenarnya tidak ada seorangpun yang berhak untuk mengklaim pasangan sebagai hak miliknya. Strateginya jelas: membatasi ruang gerak atau menutup celah bagi pasangan untuk bisa berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian, maka kemungkinan pasangan untuk berpindah ke lain hati menjadi semakin kecil. Lain halnya dengan cinta monyet yang telah mengalami evolusi. "Monyet" yang telah berevolusi akan menjadi pacar dan sekaligus pagar yang baik bagi pasangannya. Bertolak belakang dengan "pagar" si posesif dalam cinta monyet, pagar yang telah berevolusi ini berkutat pada diri pasangannya. Pacar yang sudah berevolusi akan memagari pasangannya dari hal-hal negatif yang dapat merusak atau membahayakan pasangannya. Untuk masalah kebiasaan merokok, misalnya. "Monyet" yang sudah berevolusi akan berusaha sedapat mungkin agar pasangannya meninggalkan kebiasaan buruk tersebut. Demikian pula halnya untuk masalah pergaulan. Jika si pasangan ternyata bergaul dengan orang-orang yang mencandu atau berandalan, maka si pacar yang baik akan mencoba menjauhkan pasangannya dari pergaulan yang buruk tersebut. Ketika si posesif cinta monyet menjauhkan pasangan dari pergaulan untuk kebaikan dirinya sendiri, si posesif cinta monyet yang telah berevolusi melakukannya demi kebaikan pasangan. Bagaimana dengan kita? Seberapa jauh cinta monyet kita berevolusi? Masihkah kita menjadi pagar yang tinggi dan tertutup rapat sehingga pasangan kita hampir-hampir tak dapat beraktivitas tanpa seijin kita? Ataukah kita sudah mengalami evolusi cinta monyet dengan menjadi pagar yang baik bagi pasangan kita, menjauhkannya dari hal-hal yang tidak berguna atau bahkan berbahaya? Hanya kita dan pasangan kita yang mengetahui jawabannya. Selamat berevolusi! :D

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun