Mohon tunggu...
Ayu Nirmala
Ayu Nirmala Mohon Tunggu... Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Saya merupakan mahasiswa Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta yang tengah mengejar gelar sarjana. Saya menulis beberapa artikel yang membahas fenomena- fenomena sosial dan mencoba melihatnya menggunakan kacamata Sosiologi. Saya menyukai bahasan mengenai feminisme, keagamaan, dan pergerakan politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Budaya Self-Reward: Hadiah untuk Diri atau Perangkap Konsumsi?

15 Juni 2025   20:34 Diperbarui: 27 Juni 2025   13:48 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Kejar Mimpi)

Pernahkah Anda, setelah melewati hari yang melelahkan atau berhasil menyelesaikan pekerjaan berat, merasa layak memberikan hadiah kepada diri sendiri? Misalnya dengan membeli secangkir kopi premium di kafe ternama, berbelanja produk perawatan kulit yang cukup menguras dompet, atau sekadar menikmati staycation di hotel untuk melepas penat. Di media sosial, kita sering menjumpai slogan-slogan seperti “treat yourself” atau “you deserve it” yang seolah-olah mengingatkan semua orang untuk tidak lupa menghargai diri sendiri. Namun, benarkah semua ini semata-mata untuk perayaan atas pencapaian pribadi? Atau justru ada fenomena yang lebih kompleks di balik budaya selfreward ini? Mari kita telaah lebih jauh.

Istilah self reward berasal dari kata “self” adalah diri sendiri dan “reward” adalah penghargaan atau hadiah. Dalam bahasa inggris reward diartikan sebagai upah, hadiah, dan lain sebagainya. Menurut Siti Nur Aeni (2022), self reward adalah istilah yang digunakan saat seseorang memberikan hadiah untuk dirinya sendiri. Bentuk dari self reward sangat beragam dan tidak selalu dalam bentuk barang. Self reward secara umum diartikan sebagai penghargaan karena telah melakukan pekerjaan hingga akhirnya mencapai apa yang telah diinginkan. 

Menariknya, budaya self reward ini tidak lagi hanya sosial memanjakan diri, tetapi juga berkaitan erat dengan budaya konsumsi. Menurut Pierre Bourdieu, konsumsi sering kali tidak sekadar memenuhi kebutuhan, melainkan menjadi cara seseorang menunjukkan identitas dan posisi sosialnya. Barang atau pengalaman yang dipilih sebagai bentuk self reward bisa menjadi simbol dari siapa diri kita dan kelompok mana kita ingin dilihat. Misalnya, kita lebih memilih kopi premium dari mereka tertentu, membeli mainan dengan harga yang mahal, atau membeli baju atau tas branded, semua itu membuat tindakan self reward tidak hanya berarti menikmati hasil kerja keras, tetapi juga menyampaikan pesan tentang gaya hidup dan selera yang kita miliki.

Fenomena self reward sangat lekat dengan gaya hidup kelas menengah, terutama di kalangan urban yang akrab dengan tekanan pekerjaan dan tuntutan produktivitas. Di tengah rutinitas yang padat, self reward menjadi semacam pelarian untuk menyeimbangkan hidup. Di sisi lain, pilihan bentuk self reward seringkali mencerminkan kemampuan finansial seseorang. Semakin tinggi pendapatan, biasanya semakin beragam dan mewah pula bentuk self reward yang bisa diakses. Ada yang cukup dengan membeli makanan favorit, tetapi ada pula yang memilih berlibur ke luar negeri sebagai bentuk penghargaan untuk diri sendiri. Di sinilah konsep distingsi dari Bourdieu terlihat, di mana konsumsi digunakan untuk membedakan diri dan menunjukkan posisi sosial di mata orang lain. 

Namun, dibalik kesenangan yang ditawarkan, budaya self reward juga menyimpan risiko yang perlu diwaspadai. Ketika sel reward dilakukan secara terus-menerus tanpa kendali, ia bisa berubah menjadi kebiasaan konsumsi yang impulsif. Tidak jarang, seseorang membeli sesuatu bukan lagi karena benar-benar membutuhkannya, melainkan sekadar ingin merasa lebih baik sesaat. Industri pun memanfaatkan kecenderungan ini dengan terus membombardir kita dengan iklan yang seolah-olah memahami kebutuhan emosional kita. Media sosial ikut memperkuat dorongan itu, dengan banyaknya unggahan yang menampilkan gaya hidup mewah sebagai bentuk perawatan diri. Akhirnya, tanpa sadar, kita terjebak dalam siklus konsumsi yang tiada habisnya, dimana self reward justru menjadi beban finansial dan emosional.

Memberi penghargaan kepada diri sendiri tentu bukan hal yang salah, tetapi perlu disadari apakah keputusan tersebut benar-benar lahir dari kebutuhan pribadi atau hanya sekedar mengikuti tren. Self reward seharusnya menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan hidup, bukan sekedar upaya memenuhi standar gaya hidup yang ditentukan oleh lingkungan sosial atau iklan. Pada akhirnya, budaya self reward mencerminkan bagaimana konsumsi di era modern tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan, tetapi juga membentuk identitas dan citra diri seseorang. Memberi penghargaan kepada diri sendiri memang penting sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan mental dan menghargai usaha yang telah dilakukan. Namun, diperlukan kesadaran agar self reward tidak berubah menjadi kebiasaan konsumsi yang merugikan.

Daftar Pustaka:

Wahyuningsari, D., Hamzah, M. R., Arofah, N., Hilmiyah, L., & Laili, I. (2022). Maraknya Hedonisme Berkedok Self Reward. Jurnal Ilmu Sosial Humaniora Indonesia, 2(1), 7-11.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun