Mohon tunggu...
Ayu Wikan SA
Ayu Wikan SA Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Konstruksi "Ini Budi, Ini Ani"

19 Desember 2018   15:10 Diperbarui: 19 Desember 2018   15:30 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel 1. Presentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Buta Huruf Menurut

"Ini Budi. Budi bermain bola."

"Ini Ani. Ani bermain boneka"

Siapa yang tidak asing dengan frasa diatas. Mungkin generasi tahun 2000-an sudah jarang mendengar atau melihat frasa "ini Budi, ini Ani". Frasa ini sangat akrab ditelinga pelajar sekolah pada era 80 hingga 90-an. Tokoh ini akan sangat mudah ditemukan didalam buku paket Bahasa Indonesia untuk sekolah dasar. 

Budi kerap kali disandingkan dengan kegiatan atau benda yang dianggap maskulin, seperti contohnya Budi bermain bola, Budi ingin menjadi pilot, atau Budi memakai baju berwarna biru. Sedangkan kegiatan atau benda yang dianggap bersifat feminine akan melekat di tokoh Ani, seperti contoh Ani bermain boneka, Ani ingin menjadi guru atau Ani memakai rok berwarna merah muda. Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa Budi tidak bermain boneka atau Ani ingin menjadi pilot? Pertanyaan sederhana ini terus mengganggu pikiran saya sejak beberapa tahun belakangan. Dari mana asalnya sebuah pemikiran seperti itu?

Rupanya masyarakat telah terkonstruksi bahwa perlakuan feminin yang lembut dan manis haruslah dimiliki oleh perempuan, sedangkan maskulin seperti kuat dan tegas sangat identik dengan laki-laki. Pertanyaan sama seperti diatas, dari mana asalnya sebuah pemikiran maskulin dan feminin? Sifat-sifat feminine dan maskulin disebabkan oleh faktor budaya (Idris&Suryadi, 2004). 

Jika kita berbicara secara emik, kebudayaan Jawa mengajarkan bahwa seorang perempuan haruslah kalem, lembut dan bersikap manis, lalu laki-laki diajarkan untuk bekerja keras, tidak boleh cengeng, dan harus bisa menjadi contoh atau panutan. Feminin dan maskulin salah satunya dapat diidentifikasi dengan perbedaan dalam penggunaan pakaian dan potongan rambut. 

Pada buku pelajaran sekolah juga ditampilkan bahwa perempuan memiliki rambut panjang dan menggunakan rok, sedangkan laki-laki digambarkan memakai celana dan berambut pendek. Hal itu dilakukan secara kolektif oleh masyarakat sehingga menjadi "lumrah" dan kini telah mendarah daging dipikiran masyarakat. 

"Perempuan dengan sifat-sifat femininya dipandang oleh budaya masyarakat selayaknya untuk berperan di sektor domestik, sebaliknya laki-laki yang bersifat maskulin sudah sepatutnya untuk berperan di sektor publik", (Muthallin, dalam Idris & Suryadi (2004:64)). Sebetulnya, apa kaitanya perempuan, laki-laki, domestic dan ruang publik?

Berbicara gender, tidak jauh dengan topik persoalan perempuan. Penggambaran perempuan dan laki-laki ke dalam sifat feminin dan maskulin terbawa hingga ke dalam ranah pendidikan. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki didalam lingkungan sekolah tidak akan menjadi masalah jika kita saling menghargai, yang berbahaya adalah ketika diskriminasi gender sampai pada tataran pendidikan. Namun sayangnya, diskriminasi itu terjadi. 

Masyarakat kita masih banyak yang memandang bahwa perempuan tidak wajib untuk mengenyam pendidikan dan laki-lakilah yang harus sekolah tinggi. Menganggap laki-laki lebih dapat diandalkan sehingga membuat perempuan menjadi lebih sulit untuk mengenyam pendidikan. Diskriminasi gender akan sangat meresahkan kaum perempuan, dimana selama ini yang terjadi adalah perempuan selalu lebih rendah daripada laki-laki.

Buta huruf, iliterasi atau tuna aksara adalah ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Seperti yang kita tahu, bahwa dasar dari pendidikan dimulai dari calistung (baca, tulis dan hitung). Namun sayangnya, tingkat buta huruf di Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 2017, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Muhadjir Effendy) mengatakan bahwa Indonesia menempati peringkat keempat dengan buta huruf terbanyak di dunia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, Indonesia memiliki penduduk buta huruf sebanyak 2,53% laki-laki dan 5,64% perempuan[1].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun