Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nusantara, I Love You

9 Februari 2021   19:42 Diperbarui: 9 Februari 2021   19:49 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata orang, Kalimantan adalah surga. Sangat mudah mencari uang di sana. Tiap pulang ke kampung asal, pemudik membawa uang banyak. Dibagi-bagi pada kerabat dan tetangga. Belum lagi oleh-oleh yang memang tak ada di Pulau Jawa. Maksudnya, makanan khas yang memanglah berbeda. Katanya enak. Kapan-kapan kirim lagi.

Demikian beberapa cerita yang pernah saya dengar, mengelukan kampung halaman saya. Tentunya, jauh sebelum masa pandemi. Sekarang berbeda. Tidak mudah untuk menembus perbatasan. Pembatasan Sosial Berskala Besar harus dilakukan.

Apa yang menarik mereka datang? Tentu saja pekerjaan.

Kalimantan atau Pulau Borneo, memanglah dikenal banyak hutan tropisnya. Tumbuhan langka anggrek hitam, habitatnya adalah hutan Kalimantan. Menjadikannya endemik nan eksotis. 

Dari jumlah persentase yang tinggi, tidak heran banyak aktifitas logging. Banyak pula pabrik kayu lapis. Tapi itu dulu, sekitar tahun 80-an. Saya masih kanak-kanak waktu itu. Sudah lama pabrik kayu lapis mati suri. Arus perantau, juga berkurang.

Dulu, untuk membuka lahan baru, program transmigrasi marak dan jamak. Banyak dari teman sekolah saya waktu itu, yang orang tuanya disebut trans. 

Sekarang, ceritanya berbeda. 

Kaum pendatang memanglah banyak. Dari daerah Sumatera sampai Papua. Tidak heran, masyarakatnya menjadi sangat heterogen. Tapi mereka mesti membawa bakat dan latar belakang profesional. Maksudnya, harus mengerti bagaimana berdagang, atau mempunyai dasar akademis. Mereka menghadapi persaingan di sini. Sebab Kalimantan menjelma menjadi kota yang diperhitungkan.

Ada juga jumlah kecil jalur lainnya, yaitu pekerja lapangan. Buruh proyek dan bangunan yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa. Karena jumlah yang besar itu pula, sanggup merusak standar gaji yang disesuaikan daerah asalnya. Buruk memang, bagi kesejahteraan tenaga kerja lokal. 

Terhadap kaum pendatang, sejujurnya saya merasa senang. Nama daerah saya, harum di kampung mereka. Katanya di sini pekerjaan lancar. Orangnya baik, makanannya enak, dan daerahnya aman. Mau buka dompet di tempat ramai, bisa. Mau parkir motor lupa cabut kunci, belum tentu raib. Mau pulang larut malam di jalan sepi, biasanya tidak kenapa-kenapa. Yaa, sekalipun ada kasus kriminal, hanya satu-dua. Tidak serupa kota dengan ribuan gelandangan. Bukan rimba dengan banyak serigala buas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun