Apalagi Ibu saya tipe orang yang suka berkreasi, biasanya hari pertama puasa kami akan request bubur pulut hitam atau bubur ketan hitam, selanjutnya terdapat aneka laksa, laksa kuah, laksa goreng, adakalanya mi lidi goreng, bubur kacang hijau, lontong sayur, lontong pecel.
Belum lagi aneka kue, adakalanya kue apam, buah melake atau lebih terkenal dengan klepon, kue dadar gulung atau kue lapis, termasuk juga nasi lemak sambal bilis. Ah, menulis ini saja membuat saya menelan liur, seakan-akan semua terhampar di depan mata.
Begitulah kami merayakan ibadah puasa, selalu dihidangkan aneka masakan dari surga. Saya juga rindu, ketika waktu berbuka hampir tiba, dulu di desa kami listrik menyala tepat pukul lima petang, seakan pertanda itulah jam anak-anak bermain berakhir sudah dan telah wajib berada di rumah.Â
Jika bulan puasa saya biasanya sudah rapi berbaju kurung di kala petang menyapa, seketika Ibu siap menyiapkan hidangan untuk tentangga saya beralih mengambil tugas mengantarkan satu persatu makanan ke rumah para tetangga.
Semisal saya mengantarkan laksa buatan Ibu ke rumah Makcik Tonah, maka saya akan kembali ke rumah dengan kue yang berbeda buatan tetangga sebelah.Â
Tradisi inilah yang membuat saya dan saudara-saudara saya kebingungan harus memakan apa ketika bedug menggema, terlalu banyak aneka makanan di hadapan mata.
Itulah sekilas kerinduan yang tak bisa lagi saya rasakan di saat sudah berpindah, hanya kenangan di masa lampau yang terus bungah.