Mohon tunggu...
ayi rusmadi
ayi rusmadi Mohon Tunggu... Human Resources - Educational Leader

jika ingin memperbaiki generasi perbaiki kualitas pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Untuk Belajar Vs Belajar Untuk Ujian

15 Desember 2019   03:45 Diperbarui: 15 Desember 2019   04:08 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) SD akan dilaksanakan bulan April atau Mei. Berarti tersisa 3 bulan lagi minimal untuk meningkatkan kemampuan anakku Azzam dalam menyelesaikan soal USBN dengan harapan nilai rata-ratanya mencapai 8 agar mendapatkan Sekolah Negeri dekat dari rumah. 

Saya senang membantu Azzam  mengerjakan soal matematika bukan karena saya menguasainya tetapi lebih kepada cara saya meniru orang tua dahulu dalam mendidik putra-putrinya. Dalam hubungan komunikasi saya dengan Azzam beberapa pola saya kembangkan termasuk megajarkan matematika. Buat saya dalam konsep soal  matematika ada proses berfikir tingkat tinggi yang membutuhkan logika dan nalar dimana 2 hal itu sangat dibutuhkan setelah ia dewasa. Disanalah nilai penting pendidikan keluarga buat saya sebagai ayah dua orang anak. Ketika memberikan masukan kepada anak-anak soal nilai-nilai kehidupan di meja makan, di mobil dalam perjalanan atau ketika membantu penyelesaian soal matematika.

Pelaksanaan Ujian bagi peserta didik di Indonesia bisa jadi merupakan cara terbaik untuk belajar. Ujian untuk belajar. Karena mereka tahu bahwa nilai ujian akan mengantarkan pendidikan mereka di sekolah ketahapan selanjutnya. Jadi mereka serius dan menganggapnya penting untuk melewatinya. Cara belajar seperti ini bisa jadi bagus buat sebagian peserta didik namun juga ada yang tidak cocok. Mereka yang tidak suka ujian akan merasa stress dan akhirnya tidak mampu menyelesaikan ujian dengan baik. Perasaan tidak nyaman inilah yang membuat cara belajar ini tidak disukai. Mereka lebih suka belajar proses. Bahwa dalam melaksanakan pembelajaran dengan berbagai cara menghafal, keterampilan, dan berkembangnya sikap baik mereka dinilai sebagai proses pembelajaran. Jadi penilaian tidak hanya dari hasil ujian namun juga terutama proses pembelajarannya atau Holistik Assessment. Dan yang terpenting belajar bukan soal mencapai nilai minimal tertentu dan akan mengakibatkan mereka di cap sebagai anak pintar atau bodoh jika tidak dapat mencapainya.

Proses belajar sesungguhnya tidak sederhana. Ia adalah aktifitas otak dalam berfikir menggunakan informasi yang diperoleh untuk dianalisa dan menghasilkan produk berfikir tertentu sesuai tingkatannya dari mudah ke sulit atau sederhana ke kompleks. Selain otak atau fikiran aktifitas belajar juga soal seluruh komponen tubuh dan potensi peserta didik seperti ; perasaan, spiritual, fisik hingga keterampilan dalam mengerjakan atau memproduksi barang atau konsep tertentu. Disinilah peran alat tes untuk mengukur keberhasilan belajar dianggap penting namun sekaligus menjebak para guru berbuat kesalahan jika alat tes tersebut tidak dapat menyalurkan semua potensi peserta didik. Parahnya hasil akhir dari alat tes tersebut seolah menjadi kesimpulan akhir tentang kemampuan peserta didik.

Kembali kepada anakku Azzam. Tampaknya ia suka jika Ayahnya menemaninya belajar. Namun dalam suatu diskusi ia juga tidak suka jika terlalu dipaksa dan tidak mampu berfikir menyekesaikan soal ujian khususnya matematika. Ia ingin bisa menguasai pelajaran karena diberitahu bahwa hasil ujian akan mengantarkannya ke jenjang berikutnya. Ia punya motivasi belajar namun belum punya kemandirian belajar. Soal kemandirian belajar ini sangat penting. Bahwa dalam jenjang pendidikan SD, SMP, SMA hingga kuliah maka tingkat kemandirian belajar yang semakin tinggi akan diperlukan. Oleh sebab itu prilaku kebiasaan belajar sejak dini menjadi penting. Bagaimana anak dapat belajar dengan sukarela, dan merupakan kesadaran diri atas motivasi dan tujuan dalam diri mereka sendiri. 

Pada tahapan ini sesungguhnya peran orang tua dan sekolah harus bersinergi. Bahwa nilai-nilai keluarga seperti kerja keras, disiplin, ingin menghasilkan yang terbaik, tidak mudah menyerah, mencintai ilmu pengetahuan dan keberkahan dalam menuntut ilmu akan sangat mempengaruhi cara belajar anak-anak kita di sekolah ataupun rumah, sekarang dan di masa datang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun