Mohon tunggu...
Zulkarnain El-Madury
Zulkarnain El-Madury Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menganut Theologi Anti Paganisme/Syirik.\r\nTauhid adalah pahamku\r\nSyariat adalah hukumku\r\nAllah adalah Tuhanku\r\nMuhammad adalah Metode (manhaj)hidupku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Muhammadiyah 1912 VS NU 1926, Luka Lama yang Kambuh

20 Juli 2012   11:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:46 15559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Persetruan Muhammadiyah Vs NU, bukanlah masalah baru, bukan pula karena persoalan persoalan kecil yang mencuat kepermukaan. Rivaling Muhammadiyah Vs NU, telah terjadi sejak tahun Muhammadiyah dilahirkan Oleh seorang tokoh kontroversial di mata Islam adat, tepatnya di tahun 1912.

Islam adat atau Islam tradisional (yang tahun 1926 menamakan dirinya Nahdhatu al Ulama) memang tidak pernah bermimpi akan berhadapan dengan Muhammadiyah, yang konon disebut aliran wahaby (sebagaimana kampanye muslim tradisional yang mengklaim Ahlussunnah Wal-Jamaah, yang kemudian disematkan sebagai pigura Nahdhatul Ulama). Islam Tradisional yang geram melihat prilaku dakwah yang menentang adat Islam Jawaisme dan benalu benalu kejawen yang lengket hingga sekarang dalam tubuh NU, merupakan alat paling peka guna menjembatani keinginan Muslim Tradisional melebarkan dan menebarkan kebencian pada warga Muhammadiyah waktu itu, sebagai tujuan membendung arus pengungsi dari Muslim tradisonal yang sadar ke Muhammadiyah. Bahkan berkali kali KH. Ahmad Dahlan harus berhadapan dengan percobaan pembunuhan dan Ancaman dari kelompok tradisional yang merasa dirongrong keyakinannya.

Masa lalu yang suram bagi Muhammadiyah, tidak saja disebut wahaby, bahkan dalam ceramah ceramah ulama mereka, ada yang tega menyebut gerakan dakwah Muhammadiyah, sebagai kelompok kafir, sehingga ditengah masyarakat Madura sekarang terdapat anekdot yang sebenarnya illustrasi dari sebuah kenyataan, ketika ada orang NU shalat di mesjid Muhammadiyah, maka temannya yang kebetulan ikut, segera menelpon orang tuanya, katanya :” Pak si Fulan telah murtad”.

Bapaknya bertanya:”kenapa Murtad”,

Jawab teman anaknya:” Ya pak dia sekarang shalat di mesjid Muhammadiyah”.

Cerita diatas menggambarkan sebuah keadaan di republik ini yang masih mentah memahami perbedaan. Menganggap berbeda dalam satu agama bukanlah hal yang wajar, tetapi dipandang kurang ajar oleh sebagian orang.

Selain itu Peristiwa 1955, saat Nu hengkan dari Masyumi dan mendirikan partai NU yang sebelumnya adalah Ormas, tentu karena perasaan kecewa yang dirasakan oleh NU, sehingga memicu NU keluar dari barisan Masyumi, bahkan rela menerima Nasakom sebagai bagian dari republik ini.

Juga ketika Gusdur yang dinaikkan MPR (yang waktu itu Ketuanya adalah pak Amin Rais) sebagai Presiden RI. ke 4 ), lalu diturunkan dalam sidang Istiwa MPR, merupakan pukulan berat bagi NU, bahkan akibat dari persetruan itu, NU mengamuk di mana mana menghancurkan gedung gedung pendidikan Muhammadiyah, terutama di Jawa Timur (yang merupakan basis kekuatan NU), tidak sedikit sekolah sekolah Muhammadiyah yang menjadi sasaran amuk massa NU.

Tragis dan menyedihkan, karena bangsa ini masih mentah memahami perbedaan dan demokrasi. Luka lama yang kambuh kembali makin memicu ketegangan NU, ketika kelompok salafy (yang tentu banyak menggunakan mesjid mesjid Muhammadiyah sebagai corong dakwah salafy ) melakukan dakwah anti syirik sejak tahua 80-an, membuat NU semakin geram, bahkan situs resmi NU menabuhkan gendrang perang di mana dengan stetmen “kesesatan salafy Wahaby”.

Tentu sebab kumune masalah yang banyak macam ragamnya, menyempal persatuan direpublik ini terasa asing dalam mencari solusi menyatukan pendapat. Sulit rasanya menyatukan Muhammadiyah dan NU dalam satu kandang, karena yang satu bersikukuh dengan produk tradisional yang di-agamakan, dan satunya lagi melakukan pembaharuan pada post keimanan. NU tidak rela dengan sepak terjang dakwah yang selalu menyebut amalan amalan NU adalah syirik dan Bid’ah, meskipun tak pernah menyebutkan NU dalam dakwahnya. NU merasa bagian dari walisongo yang merasa paling berjasa dalam republik ini. Sehingga keterusikan NU sama saja tidak menghargai NU sebagai bagian adanya Islam di Indonesia.

Menyebut syirik dan bid’ah terhadap amalan amalan NU, sama halnya mengusik keberadaan NU yang memang embrionya adalah Muslim warisan jawa kono. Muhammadiyah yang menjadi kuda hitam perjuangan aqidah dianggap sebagai pemicu perpecahan dalam segala hal. Ini tentunya standar NU dalam menilai kelompok lain.

Akhirnya bila sekarang terjadi permasalah dalam pandangan NU dan Muhammadiyah tentang awal dan akhir Bulan ramadhan, itu sebenarnya bukan masalah baru. Karena pada hakikatnya NU yang mengklaim menggunakan Ru’yatul hilal (sambil menggandeng Depertemin Agama), tak ada bedanya dengan Muhammadiyah, Yakni tetap menggunakan Hisab, bukan ru’yat. Alasannya, karena NU atau Depertemen Agama telah memerahkan tanggal hari raya setahun seblumnya. Ini menunjukkan kelicikan ormas dan depag dalam mempermainkan awal dan akhir bulan ramadhan. Hanya saja NU yang menggunakan hisab yang sama, sengaja melebihkan sehari dari yang ditentukan Muhammadiyah, maskudnya agar bulan itu jelas terlihat tanpa halangan. Dan lebih parah lagi ashobiyahnya NU terkesangan sangat kaku, karena hanya membenarkan saksi dari orang orang yang ditunjuk oleh PB NU. Inilah kemelut yang sebenarnya terjadi dalam kedua ormas yang berbeda pikiran dalam memahmai agama, yang lebih tepat disebut individualialisme ormas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun