Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pengalaman Pertama Saya Mengenal Pemilu: Sebuah Catatan

17 April 2019   12:33 Diperbarui: 17 April 2019   12:45 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Biasanya bagi seseorang pengalaman pertama mengenal atau melakukan sesuatu selalu meninggalkan kesan tersendiri. Saya mulai mengenal adanya Pemilu pada 1997. Saat itu saya berumur 12 tahun dan masih duduk di kelas 5 atau 6 tingkat dasar (MI). Saya ketika tahu bahwa ramai-ramai itu adalah proses pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat  dari orang tua saya. Dan ketika setiap hari saya berangkat dan pulang dari sekolah bersama teman-teman saya pun menyaksikan gambar-gambar, spanduk, dan alat kampanye lainnya yang dipasang di pinggir-pinggir jalan. 

Seingat saya kebanyakan gambar yang ditempel entah di pohon atau di tempat lain di pinggir jalan raya adalah selembaran kertas yang bergambar partai. Ada yang bergambar pohon beringin dan bertuliskan Golongan Karya (Golkar). Dan sebagai seorang PNS tentu ketika itu ayah saya diharuskan memilih partai tersebut. Ada yang bergambar banteng dengan bertuliskan PDI atau Partai Demokrasi Indonesia. Serta ada yang bergambar bintang dengan balutan warna hijau bertuliskan Partai Persatuan Pembangunan. 

Namun tak ada gambar orang atau calegnya seperti sekarang. Ketika kami melihat gambar-gambar itu kami hanya berani melihat dari kejauhan. Karena jauh-jauh hari sebelumnya ibu saya telah mewanti-wanti saya agar jangan sampai merobek apalagi merusak alat kampanye dari partai-partai tersebut. 

Menurut ibu jika ada orang yang merusak gambar kampanye partai (terutama partai tertentu) akan ditangkap oleh tentara atau pihak yang berwenang. Bahkan konon katanya tentara bisa saja menembak orang yang kedapatan merusak pamflet atau gambar kampanye. Maka ketika berangkat dan pulang sekolah ketika melihat gambar-gambar itu saya dan kawan-kawan hanya berani melihat sekilas dari kejauhan. Bahkan memandangi dari dekat saja tidak berani. Dalam benak saya waktu itu kadang terbersit pertanyaan, sebetulnya proses apa itu pemilu? Kenapa begitu menakutkan? betulkah sebegitu ketat pengawasannya? Dan sederet pertanyaan lain yang ada di benak saya.

Ketika musim kampanye bebas, saya dan juga masyarakat sekitar seringkali harus berbondong-bondong menuju ke jalan raya untuk melihat pawai atauu arak-arakan kampanye partai politik tertentu. Kampanye partai Golkar biasanya akan diikuti oleh arakan-arakan sepeda motor sepanjang entah berapa kilo meter. Dengan knalpot diloskan dan dengan suara-suara motor yang dibuat senyaring mungkin. 

Di Rembang, daerah saya, PPP merupakan pesaing utama partai Golkar. Maka ketika kampanye kampanye PPP tak kalah ramai dari kampanye partai Golkar. Panjang arak-arakan motornya juga tak kalah rame dan jauh. Sementara PDI dalam kampanye-kampanyenya kalah rame dibanding dua partai tadi. Bagi masyarakat pawai dan arak-arakan itu akan menjadi hiburan tersendiri di tengah ketakutan dan ketegangan yang sangat terasa dalam masa pemilu.

Pemilu akhirnya dimenangkan oleh partai Golkar dengan kemenangan yang mutlak dan MPR kembali mengangkat Soeharto untuk menjadi presiden lagi. Namun tak lama kemudian ketika terjadi krisis moneter yang hebat, utang luar negeri yang menggunung dan harga-harga yang mulai melambung tinggi. Di dearah-daerah kemudian terjadi berbagai peristiwa yang ketika itu tidak saya pahami sebagai seorang anak yang baru berumur 13 tahun. 

Di daerah Kragan (sebuah kecamatan dari kabupaten Rembang) dan beberapa daerah lain saya mendengar kabar dari orang-orang, telah terjadi penjaran terhadap aset-aset (terutama toko) milik para keuturan China. Sementara di sisi lain tak jauh dari daerah saya, saya menyaksikan sendiri orang-orang menjarah hutan sampai habis. Hutan di beberapa titik dijarah. Masyarakat secara ramai-ramai menebangi hutan dan menjual kayunya. Seringkali saya bersama teman-teman naik sepeda jauh-jauh hanya demi ingin melihat hutan yang terjarah itu. Ada yang asing ketika saya menyaksikan hutan itu gundul. Banyak tetangga saya, terutama yang berprofesi sebagai tukang kayu, atau bahkan pengusaha mebel yang kemudian menimbun kayu jati dalam jumlah besar.

Pada tahap berikut melalui televisi saya mendengar berita tentang demontrasi besar-besaran di ibu kota yang dilakukan oleh para mahasiswa dan elemen bangsa alainnnya. Kakak saya yang waktu itu sedang kuliah di Semarang seringkali ikut ke Jakarta bersama teman-temannya untuk ikut berdemontrasi. Namun sebagai seorang anak yang masih remaja saya tidak memahami apa yang sebetulnya terjadi. Presiden Soeharto akhirnya dilengserkan dan muncullah era remormasi. Selanjutnya pada 1999 diadakannya pemilu di era reformasi. Pemilu ini diikuti oleh 48 partai politik.

Saya baru bisa ikut berpartisipasi pemilu pada 2004. Tepatnya diselenggarakan pada 5 April 2004.  Ketika itu berarti usia saya sekitar 18 tahun. Ayah saya yang merupakan pensiunan kepala sekolah ketika itu ikut terlibat dalam kampanye-kampanye. Ayah saya ketika itu diminta menjadi jurkam (juru kampanye) tingkat kabupaten dan sempat diangkat sebagai dewan pertimbangan tingkat kabupaten oleh sebuah partai politik yang kemudian berhasil mengantarkan tokoh utamanya menjadi seorang presiden. 

Saya pun seringkali ikut dalam kampanye-kampanye itu bersama ayah saya. Saya menyaksikan sendiri ayah saya menjadi juru kampanye untuk partai politik dan para caleg. Namun tak pernah menerima bayaran ataupun bentuk-bentuk materiil lainnya. Semua dilakukan hanya demi keinginan untuk ikut berpartisipasi untuk ikut berkontribusi terhadap bangsa. Seingat saya ayah saya pernah mendapat kenang-kenangan sebuah sepatu dari seorang jenderal yang ketika itu bertemu ayah ketika sama-sama berkampanye. Karena tak punya apa-apa untuk diberikan ke ayah, jenderal itu kemudian melepas sepatu yang dipakainya untuk diberikan kepada ayah sebagai kenang-kenangan. Itu saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun