Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Benarkah Buku (Cetak) Akan Lenyap di Era Digital?

18 Februari 2019   21:02 Diperbarui: 18 Februari 2019   21:44 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sudah tidak diragukan lagu buku berperan penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Buku pun juga bisa mengubah atau sekedar mempengaruhi arah kehidupan seseorang. Dalam Bukuku Kakiku yang diterbitkan bertepatan dengan ulang tahun ke-30 penerbit Gramedia, para tokoh berpengaruh di berbagai bidang menceritakan bagaimana buku bisa berpengaruh dalam kehidupan mereka. 

Mulai dari sastrawan kenamaan seperti Ajib Rosidi, Budi Darma dan Remy Silado, hingga ilmuwan (sosial) seperti Taufik Abdullah, Azyumardi Azra, Moctar Prabottingi, Ariel Heryanto, Melani Budianta dan ilmuwan (ilmu alam) seperti Yohanes Surya. Dari menteri seperti Daoed Yusuf (Menteri Pendidikan era 1978-1983), Fuad Hasan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1985-1993) hingga pemikir seperti Franz Magnis-Suseno dan Shindunata. 

Dari pengusaha seperti Sudhamek AWS  hingga jurnalis senior, Rosihan Anwar. Total ada 23 tokoh yang menuliskan pengalaman mereka bergelut dengan buku. Yang menarik, Ajip Rosidi, sastrawan senior yang pernah menjadi guru besar tamu di universitas Osaka dan Kyoto, ternyata adalah seorang yang putus sekolah ketika SMA. Ajip Rosidi menjadi sastrawan ternama hingga menjadi guru besar semata-mata karena sejak kecil telah menjadi kutu buku.

Kisah yang hampir sama juga terjadi pada Stephen King, seorang novelis ternama. Mungkin kisah Stephen King ini sudah sering kita dengan. Stephen King, di waktu kecilnya menderita sebuah penyakit --saya lupa nama penyakitnya, saya membaca kisah ini sudah sekian tahun yang lalu---yang menyebabkan ia tidak bisa bersekolah sebagaimana mestinya anak-anak lain seusianya. Namun setiap saat ibu King memberikan buku-buku bacaan buat dia. Buku-buku koleksi King pun berlimpah. 

Meski tak sekolah, tapi King kecil biasa melahap buku-buku yang dibelikan sang ibu. Tanpa dinyana King kecil yang tidak sekolah itu kelak bisa menjadi menjadi penulis dan novelis besar yang karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ya buku-buku yang ia baca sejak kecil itulah yang mungkin memberikan pengetahuan, imajinasi hingga melahirkan ia menjadi seorang penulis besar.

Era digital seperti sekarang memang memang memberikan kita berbagai kemudahan. Termasuk kemudahan untuk mendapatkan bahan bacaan. Hanya dengan memencet HP/gawai kita bisa mencari dan mengakses berbagai bahan bacaan yang kita inginkan, mulai dari berita dari media online, tulisan-tulisan dari website atau blog perorangan atau institusi tertentu, hingga jurnal ilmiah pun bisa kita akses secara gratis. Tidak kalah pula, sekarang pun cukup melimpah buku-buku elektronik (e-book) yang bisa kita akses secara gratis atau pun berbayar.

Saya pribadi biasa melakukan searching dan kemudian mendownload jurnal-jurnal online dari berbagai belahan dunia. Kalau jurnal-jurnal itu berbayar, misalnya seperti terbitan-terbitan Taylor and Francis kadang harus saya mencari-cari versi gratisnya. Tentang hal ini misalnya saya tak jarang mendapatkan artikel gratis dari jurnal-jurnal cukup ternama seperti Indonesia and Malay World  terbitan London, padahal versi bayarnya bisa mencapai puluhan atau bahkan lebih dari 100 USD per artikel. 

Ketika sedang menulis tulisan ilmiah atau akan melakukan penelitian saya pun biasanya melakukan searching terlebih dahulu di Google Scholar tentang topik yang akan saya kaji. Kalaupun misalnya di Google Scholar jumlahnya minim saya biasanya akan membuka jurnal-jurnal yang melingkupi topik kajian yang akan saya kaji. 

Maksud saya untuk mencari refrensi atau atau sumber-sumber untuk literature reviews saat ini sangat mudah. Beda dengan ketika jaman saya kuliah dulu misalnya, untuk mencari refrensi untuk menulis skripsi (apalagi yang berbentuk jurnal atau laporan penelitian) kita harus mendatangi perpustakaan-perpustakaan besar satu persatu. Harus memilah-milih dan membuka-buka jurnal satu per satu.

Di tengah berbagai kemudahan untuk mencari berbagai sumber bacaan dan refrensi, kadang muncul pertanyaan nakal dalam diri saya, "Jika seperti ini kondisinya bagaimana nasib buku (cetak) ke depan?. Akankah buku akan ditinggalkan atau lenyap?". Pertanyaan seperti itu tidak hanya muncul sekali dua kali dalam benak saya. 

Pertanyaan itu pulalah yang meungkin melatari saya untuk menulis tulisan ini. Dan pertnyaan itu akan saya coba jawab sendiri. Mungkin jawaban-jawaban ini saya cari dan saya reka sendiri. Jadi sangat mungkin ini subjektif dan barangkali saja tidak tidak sesuai dengan apa yang orang lain alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun