Mohon tunggu...
Axel Syahputra
Axel Syahputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya hanya mahasiswa biasa yang berharap lulus dan bisa mendapatkan kerja yang halal dan mendapat uang setelahnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kartini dan Surat-suratnya: Senjata Semangat Perlawanan

11 Juni 2022   18:00 Diperbarui: 11 Juni 2022   18:26 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bulan April selalu identik dengan sosok Kartini sebagai seorang pejuang emansipasi wanita di tengah keterbatasan hak pada masa kolonial. Kartini menjadi ikon perempuan yang berani menyuarakan kegelisahan melalui surat-suratnya kepada Estella H. Zeehandelaar, sahabat pena kartini di Belanda. Stella merupakan seorang feminis radikal anggota Social-Democratische Arbeiders Partij "SPAD" (Partai Buruh Sosialis Demokratik). Kartini dikenal sebagai sosok penuh semangat perlawanan akan penindasan oleh kaum feodal terhadap kaum pribumi, khususnya di Pulau Jawa. Kartini ingin merasakan kebebasan seperti di Eropa yang tidak membatasi pendidikan. Pramoedya Ananta Toer pada bukunya "Panggil Aku Kartini Saja" menceritakan bahwa Kartini sempat mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS).
meskipun hanya sebentar. Di sekolah, Kartini seringkali mengalami diskriminasi, seperti diharuskannya baris-berbaris yang berurutan warna kulitnya dari yang putih hingga coklat. Diusianya yang ke 12 tahun, Kartini dipingit di dalam rumah, dan terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Pramoedya juga menceritakan adanya budaya patriarki yang diterapkan pada keraton di masa kolonial membuat Kartini sulit mengungkapkan pendapatnya.

Kartini tentunya juga hidup di lingkungan yang saat itu menjunjung tinggi kekuatan adat tanpa mengindahkan kebebasan berpendapat. Segala sesuatu yang dilakukan Kartini harus berasal dari kemauan dan perintah dari ayahnya. Berkat aktivitas surat menyurat dengan Stella, Kartini berusaha mendobrak pola pikir kaum pribumi yang terbelenggu oleh dogma feodalisme dan penjajahan Belanda. Mengenai feodalisme, Kartini bercerita melalui suratnya kepada  Stella Zeehandelaar, pada tanggal 18 Agustus 1899,

"Duh, kau akan menggigil, kalau ada di tengah keluarga pribumi yang terkemuka. Bicara dengan atasan haruslah sedemikian pelannya, hanya orang di dekatnya saja bisa dengar. Kalau seorang wanita muda tertawa o-heo, tak boleh dia buka mulutnya."

 Kartini begitu suka membaca buku. Ia membaca buku-buku yang ditinggal oleh Kardinah, adiknya yang telah menikah dan pergi mengikuti suaminya. Pada surat Kartini tanggal 23 Januari tahun 1900 ia menulis kekagumanya pada buku Moderne Maagden yang ditulis oleh Marcal Prevost, "Karena penemuan-penemuan kembali banyak hal yang memang telah aku pikirkan, rasakan, dan alami." Pengenalan konsep sosialisme oleh Kartini melalui aktivitasnya membaca buku juga komunikasi surat dengan sahabat penanya berhasil membawa pemikirannya untuk sadar akan relasi kekuasaan yang memiliki ketimpangan. J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pengajatan dan Ibadah di Hindia Belanda, menerbitkan surat-surat kartini yang telah disortir menjadi sebuah buku di tahun 1911. Selepas terbitnya Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), tokoh dari politik etis, yaitu Conrad Theodore van Deventer kembali ke Hindia Belanda untuk mendirikan Yayasan kartini di tahun 1913 dan Sekolah Kartini dua tahun setelahnya. Walaupun usia Kartini tidak panjang, dirinya berhasil menggetarkan semangat pribumi terlebih kaum perempuan untuk memiliki semangat perjuangan dalam melawan penindasan dan ketidakadilan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun