Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia. berbagai nobel pernah diraihnya dalam kurun waktu puluhan tahun ke belakang. Mulai dari FOA Award for Agricultural Development 2013 hingga Agricultural Medal 2024. Tak heran, per tahun 2023 luas lahan pertanian indonesia mencapai 47 juta hektare yang mencakup sawah, ladang, dan perkebunan (Sensus Pertanian, 2023). Di balik layarnya terdapat lebih dari 27,80 juta petani yang menggarap lahan pertanian tersebut. Hasil pertanian Indonesia juga sangat membanggakan dan menjadi kekuatan utama dalam struktur ekonomi nasional. Komoditas seperti padi, jagung, kelapa sawit, kopi, kakao, dan karet tidak hanya mencukupi kebutuhan domestik, tetapi juga menjadi andalan ekspor yang memberikan kontribusi besar terhadap devisa negara.Â
Realita di Balik Kabar Baik
Nyatanya banyak petani di Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan (Setkab, 2022). Â Lebih dari 43% rumah tangga petani berada pada kategori miskin atau rentan miskin, terutama di daerah luar Jawa dan kawasan terpencil (Siregar, 2021). Selain itu realita menyedihkan di balik kejayaan sektor pertanian Indonesia adalah banyak petani masih hidup dalam kondisi yang kurang sejahtera. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023), angka Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada beberapa bulan di tahun 2023 masih berada di kisaran 104 hingga 108, menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan petani belum signifikan dibandingkan dengan kenaikan biaya produksi dan konsumsi rumah tangga. Indeks Kesejahteraan Petani (IKP) juga memperlihatkan ketimpangan kesejahteraan yang nyata. Dalam laporan Kementerian Pertanian (2022), IKP berada pada level stagnan di angka 60 hingga 70 dari skala 100, menandakan bahwa sebagian besar petani belum mendapatkan akses layak terhadap pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang memadai.Â
Secara general, salah satu penyebab utama kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan petani berada pada fluktuasi harga komoditas produk pertanian. Saat panen raya berlangsung maka harga komoditas pertanian akan anjlok, dan sebaliknya. Saat gagal panen harga komoditas pertanian akan meroket. Kondisi ini juga tidak berada pada sebuah kondisi yang bersifat ceteris paribus. Terdapat faktor-faktor eksternal lainnya yang turut serta mempengaruhi harga komoditas produk pertanian, seperti cuaca, serangan hama, wabah penyakit, hingga akses terhadap benih dan pupuk yang berkualitas. Namun terdapat satu penyebab lainnya yang turut mempengaruhi harga komoditas pertanian, yakni tengkulak atau pengepul.Â
Menurut KBBI, tengkulak merupakan pedagang perantara yang membeli hasil panen atau hasil bumi dan sebagainya dari petani atau pemilik pertama umumnya dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar lalu menjualnya kembali. Tengkulak telah menjadi aktor dominan dalam rantai pasok hasil pertanian, terutama di daerah pedesaan yang aksesnya terhadap pasar dan lembaga keuangan formal masih sangat terbatas. Sistem ini telah berlangsung puluhan tahun sejak masa kolonial. Awalnya tengkulak hadir sebagai pihak pemberi modal kepada para petani. Namun seiring waktu, peran tengkulak bergeser menjadi dominan dan bahkan eksploitatif karena petani harus menjual hasil panennya kepada mereka dengan harga rendah sebagai bentuk "Balas Budi". Hingga saat ini, keberadaan tengkulak masih mengakar kuat terutama di pedesaan, di mana hubungan ekonomi sangat dipengaruhi oleh ketergantungan sosial.Â
Dependency Theory, Moral Hazard dan Asymmetric Information
Berdasarkan Dependency Theory atau teori ketergantungan yang dikemukakan oleh Raul Prebisch (1950) jika menggunakan pendekatan pasar monopsoni,  tengkulak bertindak sebagai satu-satunya pembeli hasil tani dengan kekuatan tawar yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan harga jual yang diterima petani sangat rendah, sementara harga ditingkat konsumen tetap tinggi.  Dalam jurnal Agrosains (Firmansyah, 2019), dijelaskan bahwa di beberapa daerah, hingga 85% hasil panen petani hanya dibeli oleh satu atau dua tengkulak yang mendominasi desa, membuat dinamika pasar menjadi tidak adil. Petani yang merupakan produsen utama komoditas produk pertanian tetap bergantung pada aktor lain untuk menjual hasil panen dan memperoleh input pertanian, menjadikannya bagian dari lingkaran ketidakberdayaan struktural (Todaro & Smith, 2015). Lebih jauh, munculnya peran egoisme manusia dalam mempertahankan kondisi status quo ini tidak bisa diabaikan. Tengkulak yang berada sebagai pihak pembantu untuk petani mendapatkan modal dan akses pasar, terkadang memanfaatkan celah keterbatasan yang dimiliki petani untuk meraup keuntungannya sendiri.Â
Dalam Jurnal Agribisnis Indonesia, Setiawan dan Rahardjo (2020) menunjukkan bahwa terdapat Moral Hazard yang terjadi antara tengkulak dengan petani di Brebes dan Grobogan. Tengkulak sering memberikan pinjaman di awal musim tanam, dengan perjanjian bahwa hasil panen harus dijual kembali kepadanya tanpa dokumen transaksi atau kontrak tertulis, sehingga mendorong petani masuk ke dalam jeratan hutang dan ketergantungan dengan posisi tawar menawar yang lemah. Tidak hanya itu, adanya Asymmetric Information turut memperkeruh kondisi tersebut. Tengkulak umumnya memiliki akses luas terhadap informasi pasar, harga, serta jaringan distribusi, sementara petani hanya mengetahui harga pada tingkat lokal dan tidak memiliki referensi nilai yang adil atas hasil taninya. Ketimpangan informasi ini menyebabkan petani menerima harga jual yang jauh di bawah nilai sebenarnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari dan Andriani (2021) dalam Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis menemukan bahwa lebih dari 70% petani di Jawa Barat tidak mengetahui harga pasar di tingkat distributor akhir, yang membuat posisi tawar mereka sangat rendah saat berhadapan dengan tengkulak.Â
Harapan di Balik Tantangan
Menempatkan petani sebagai pihak yang selalu menerima takdir bukanlah suatu hal yang benar. Saat ini pemerintah terus menggalakkan berbagai program untuk mendukung kesejahteraan petani. Mulai dari pemberian subsidi input produksi, pinjaman modal melalui koperasi, champion petani hingga hilirisasi produk pertanian. Dengan berbagai program tersebut perlahan petani dapat terbebas dari cengkraman tengkulak.Â
Penulis: Avriela Yosepha-UPN "Veteran" Yogyakarta