Mohon tunggu...
R.H. Authonul Muther
R.H. Authonul Muther Mohon Tunggu... Penulis - Editor-in-chief Edisi Mori

R.H. Authonul Muther, yang akrab disapa Ririd, lahir 15 Desember 1998. Ia seorang editor in chief di penerbitan Edisi Mori yang fokus pada buku filsafat, sains dan humaniora. Ririd juga adalah seorang editor dan penyunting teks-teks filsafat. Minat kajian yang digeluti adalah filsafat, sastra dan politik; khususnya, ia lebih menekuni filsafat kontemporer. Sesekali melakukan perjalanan dan menuliskannya; sesekali juga menulis sebuah tulisan persembahan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Malangkucecwara: Tuhan Menghancurkan yang Bathil

16 Mei 2024   17:31 Diperbarui: 16 Mei 2024   17:34 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya ingin menulis bukan tentang nasib, tapi tentang sebuah kota. Kota yang punya beban sejarah (juga kutukan) yang panjang, sebuah tanah yang melahirkan para raja dan pemberontak. Kota yang dingin, soliter, sunyi, tapi pada saat yang sama sangat bising, penuh dendam-kesumat dan peperangan.

Bagi saya, kota ini punya empat tafsir kutukan. Kutukan pertama, Malang bukan untuk mereka yang senang pada kebathilan. Kutukan kedua, Malang ditakdirkan untuk kosmopolit, menerima semua yang asing. Kutukan ketiga, Malang digariskan bukan tempat bagi mereka yang marah, tapi buat mereka yang nyanggrah---kota ramah-tamah, surganya para pengembara. Empat, kota ini, karena begitu indah, rawan membuat penghuninya terlena. Setidaknya, empat kutukan ini berasal dari beban sejarah dan asal-usul nama, Malangkucecwara.

Malangkucecwara, sebuah nama yang tertulis di Prasasti Mantyasih Raja Balitung, 907 dan 908 Masehi. Malangkucecwara, nama yang terdiri tiga kata: 'Mala' yang berarti kepalsuan, kotor, atau bathil; 'Angkuca' yang berarti menghancurkan atau membinasakan; 'Icwara' yang berarti dewa atau Tuhan. Malangkucecwara: Tuhan menghancurkan yang bathil. Meskipun hanya sebatas hipotesis sejarah tentang asal-usul nama Kota Malang, namun kita harus menganggap Malangkucecwara sebagai konsep dan Roh (Geist). Kita tidak bisa menganggap Malang hanya sebatas kota dengan bangunan beton, ornamen besi, dan jalan beraspal, maupun hanya memahami Malang sebatas sejarah perihal tahun dan angka. Lebih daripada itu, Malang selalu berarti menghancurkan kebatilan, kedunguan, dan yang-kotor.

Tulisan ini datang bukan dari orang yang lahir dan besar di kota yang dihimpit tiga pegunungan tinggi ini, melainkan orang asing yang merasakan Malang sebagai---apa yang dikatakan Derrida---pengalaman singular akan sembarang tempat; di sembarang tempat, seberapa pun jauhnya kita pergi, kita selalu berada di Malang. Hal ini hanya mungkin jika kita memahami Malang sebagai rumah-singgasana dan sebagai konsep, bukan hanya sebatas materialitas kota. Seolah-olah ada maksim bawah sadar: Di mana dan ke mana pun engkau pergi dan menetap, percayalah Malangkucecwara, di sembarang tempat Tuhan menghancurkan yang batil.

Manusia selalu hidup dalam ruang sekaligus meduniawikan ruang. Karakterisitik dasar Dasein adalah membuat ruang menjadi medan hasrat. Kota sebagai ruang, adalah representasi keduniawian orang-orang di dalamnya; kita mengatur, mendesain, membangun, menstrukturisasi kota sesuai dengan hasrat dan eksistensialitas Dasein di dalamnya. Jika kita suka berperang, keduniawan Malang terepresentasi sebagai medan gersang; jika kita suka menyanggrah, keduniawian Malang terepresentasi sebagai tanah yang telah dijanjikan---sebuah Kota Messianik. Namun, sebuah kota selalu memiliki beban sejarah dan hantunya masing-masing. Hasrat kita terbentur dan terbatas dalam menduniawakan ruang karena beban sejarah. Malang misalnya, tak mengizinkan mendirikan kebatilan, apa pun yang batil akan hancur. Malang di dalam dirinya sendiri ingin menjelma Kota Messianik, sebuah tanah yang dijanjikan.

Prof. Djoko benar, dalam orasi kebudayaan di Panggung Sastra tempo lalu, berkata bahwa "Malang tidak hanya tentang rekreasi, tapi juga tentang rekreasi." Menciptakan ulang, membangun ulang, memikirkan ulang segala hal. Malang bukan hanya tentang wisata, tapi juga pergolakan panjang mereorientasi sejarah dan pemikiran. Mitos tidak bisa berpikir keras dan mendalam di Malang adalah dugaan yang ambigu, aneh, naif dan absurd. Di kota ini, segala hal mungkin, yang tidak mungkin hanya, sekali lagi, kebathilan. Sejak dahulu, sejak masa prasejarah sampai saat ini, Malang selalu berdikari, di sini para raja lahir, para pemberontak silih-berganti hadir. Tidak perlu kita sebut satu persatu, semua orang tahu, Malang selalu melahirkan putra-putri terbaiknya untuk sejarah. Bukankah itu hanya mungkin jika Malang sudah selalu berarti Malangkucecwara?

Malang juga penuh dendam kesumat, rantai kebencian itu seperti mandarah daging sejak dahulu kala. Ken Arok, sebagai pengawal Tunggul Ametung, membunuh tuannya sendiri dengan keris tersohor Mpu Gandring karena hasrat cintanya yang membabi-buta kepada Ken Dedes. Pasca kematian Tunggul Ametung, Ken Arok mendeklarasikan Kerajaan Tumapel, dengan gelar raja Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Malangkucecwara, kekuasaan dengan cara yang dzalim itu tak bertahan lama. Kekuasaan Ken Arok hanya berjarak satu pemilihan presiden, lima tahun. Anuspati, anak dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes, membalas dendam kesumat kepada Ken Arok. Ken Arok mati di tangan anak tirinya, juga dengan keris Mpu Gandring. Anuspati menjadi Raja, tapi dendam kesumat bukan perihal keris, tapi perihal sejarah. Anuspati pun turun tahta. Anuspati mati, lagi-lagi karena balas dendam, di tangan anak Ken Arok, Tohjaya---hasil dari pernikahan Ken Arok dengan Ken Umang. Nahasnya, Anuspati juga mati di keris yang ia gunakan membunuh Ken Arok; Tohjaya menghunuskan Mpu Gandring kepada Anuspati ketika sebuah momen kocak, sambung ayam. Keris Mpu Gandring itu bukan perihal keris, tapi tentang konsep balas dendam.

Namun, Malangkucecwara, Kerajaan Tumapel (Singasari) runtuh justru ketika kerajaannya berada di puncak reputasi. Kerajaan Tumapel runtuh karena invansi Jayakatwang, Raja Kadiri. Bukankah cukup melegakan, sekali lagi, apa pun yang lahir dan berdiri di atas kebathilan kelak akan hancur, runtuh. Apakah Mpu Gandring, sebagai konsep balas dendam, masih eksis sampai saat ini? Entah, yang pasti Roh Malang tetap sama, Malangkucecwara.

Akhirnya, Malang harus dipahami sebagai kota sekaligus sebagai nasib. Mencintai Malang berarti mencintai nasib malang. Bukankah terdengar seperti sebuah adigium, "fatum brutum amor fati," bukan hanya menerima, cintailah nasib burukmu. Di Malang, kita dipaksa untuk tidak balas dendam dan mengabdi bukan kepada yang-bathil, Malangkucecwara...

Kota ini, kita harus mengutip GM, adalah "sebuah kota di mana kabar adalah tafsir yang terlambat." Semua serba telat, juga tergesa-gesa; dan terkadang kita harus membayarnya dengan injakan kaki dan dada yang sesak; lalu, mengorbankan ratusan nyawa. Kota ini sering mendung, sesekali juga menangis darah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun