Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
Pasca Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012
Oleh : M. Auritsniyal Firdaus
Alumni S1 Jurusan Muamalah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
Mahasiswa S2 Prodi Hukum Bisnis Syariah Jurusan Hukum Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
    Menurut Pasal 1 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dalam hal ini penulis tak akan membahas lebih lanjut mengenai perbankan syariah, penulis hanya akan menjelaskan bagaimana penyelesaian sengketa perbankan syariah pasca putusan MK No. 93/PUU-X/2012. Secara prinsip, penegakan hukum hanya dilakukan kekuasaan kehakiman, maka yang berwenang mengadili dan memeriksa sengketa hanya lembaga peradilan yang bernaung dibawah kekuasaan kehakiman dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Namun berdasarkan pasal 1851, 1855, 1858 KUHP, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU N0. 30 tahun 1999 tertang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi). Untuk membahas lebih lanjut, maka perlu ditelaah satu persatu :
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Non Litigasi  Â
Di Indonesia, penyelesaian sengketa syariah melalui jalur non litigasi daiatur dalam satu pasal, yakni pasal 6 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Arbitrase
    Arbitase mempunyai kesamaan dengan istilah tahkim. Secara etimologis tahkim berarti menjadi seorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pada Tahun 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang diputuskan pada tahun 2002. Perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbitrer yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang syariah. Kedudukan BASYARNAS menurut penjelasan pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi dari pengadilan. Kewenangan BASYARNAS berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa. Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut.
Alternatif Penyelesaian Sengketa
    Secara terminologi islam dikenal dengan ash-shulhu, yang berarti memutus pertengkaraan atau perselisihan. Ash-shulhu mempunyai pengertian suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara dua orang yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan  penyelesaian secara litigasi. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka secara tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan. Perbedaan arbiter dan hakim dengan seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan win-win solution. Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak.
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi