Mohon tunggu...
Auly Ahady
Auly Ahady Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hobi nonton

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kenaikan BBM adalah Hal Biasa

18 September 2022   14:30 Diperbarui: 18 September 2022   14:30 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemerintah baru-baru ini menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax hingga 30 persen per 1 April lalu. Kebijakan menaikkan harga Pertamax ini dalam rangka menekan angka subsidi BBM di tengah lonjakan harga minyak dunia sepanjang tahun ini. Namun demikian, kenaikan harga BBM ini menambah daftar panjang kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat setelah sebelumnya harga minyak goreng naik drastis. Kenaikan harga pangan, BBM dan minyak goreng praktis menambah beban ekonomi masyarakat kecil yang selama ini terkena imbas pandemi. Belum lagi ada rencana pemerintah untuk menaikkan tarif daya listrik untuk konsumen non subsidi. 

Namun demikian, adanya kebijakan kenaikan harga minyak goreng dan Pertamax, pemerintah mau tidak mau harus menanggung subsidi yang lebih besar.

ternyata kenaikan BBM ini bukan yang pertama kali terjadi,Di era Soeharto,   kenaikan harga BBM tercatat sebanyak 21 kali. Selama  lebih kurang 30 tahun kepemimpinannya hingga jatuh pada 1998 tercatat kenaikan harga BBM beratus kali lipat. Pada  tahun 1967, di awal tahun pemerintahannya tercatat harga premium Rp4/Liter, pada tahun 1998 di tahun akhir kepemimpinannya melonjak  menjadi Rp1.000/liter. Harga minyak tanah  pada 1967 tercatat  Rp1800/liter, di tahun 1998 melonjak menjadi Rp 2800/liter . Terakhir, Solar Rp3500/liter pada 1967 melonjak menjadi Rp 5500/liter di tahun 1998. 

karena harga yang naik puluhan lipat, periode 1970an adalah era pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah berkah dari adanya "bonanza" minyak.  Boikot negara-negara Arab atas keberpihakan Amerika dan Barat terhadap Israel menyebabkan harga minyak dunia melonjak tinggi. Pada 1974 naik empat kali lipat dari tiga dollar menjadi 12 dolar per-barel. Selanjutnya antara 1979-1980 meningkat lagi dua kali lipat akibat revolusi Iran.   

Berkah    lonjakan harga minyak dunia tersebut membuat Indonesia  dapat mendanai pembangunan di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. Ribuan SD Impres dibangun pada era Soeharto ini.  Merujuk pada data Bank Dunia, menurut Duflo (2000), di sepanjang tahun 1973-1974 hingga 1978-1979 Indonesia telah membangun sebanyak 61.807 unit sekolah SD baru. Tiap sekolah menampung 500 anak-anak.  SD Inpres di era Soeharto ini dimaksudkan untuk memperluas kesempatan belajar warga berpenghasilan rendah baik yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan.  Dampaknya di tahun 1988 tercatat Angka Partisipasi Murni (APM) SD mencapai 99,6 persen. Di tahun 1990 jumlah masyarakat buta aksara turun hingga 15,8 persen. Lama masa pendidikan pun berdampak pada peningkatan upah sebesar 3 -- 5,4 persen.

Di saat harga minyak dunia tengah turun, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang sangat memberatkan rakyat kecil dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) secara signifikan. Akibatnya, kenaikan harga kebutuhan pokok pun dipastikan akan mengalami kenaikan yang tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan masyarakat.

Adapun dalih yang digunakan oleh pemerintah adalah bahwa kebijakan subsidi selama ini dinilai tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk melakukan "penyesuaian" harga BBM yang dinilai oleh sebagian kalangan sebagai kebijakan yang kurang masuk akal. Adapun Bantuan Langsung Tunai (BLT) dijadikan jalan pintas untuk mengatasi kegaduhan yang akan muncul pasca keluarnya kebijakan tersebut. 

Dengan bantuan langsung tunai yang hanya Rp600.000, maka sama halnya dengan Rp50.000 per bulan. Ini bukanlah bantalan sosial, karena sebelum kenaikan masyarakat bisa membeli pertalite sejumlah 6,5 liter, tapi setelah kenaikan harga pertalite hanya dapat membeli sejumlah 5 liter. Kalau ini imbal balik (trade off) yang dimaksudkan pemerintah atas kebijakan kenaikan BBM bersubsidi sangatlah tidak tepat.

Dalam beberapa hari terakhir, media massa gencar memberitakan rencana pemerintah  mengendalikan  penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Isu ini mendominasi sekitar 40% dari total pemberitaan tentang Kemenhub atau yang berkaitan dengan fungsi dan tugas Kemenhub. Isu tentang rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi diangkat media massa nasional, dimana sebagian besar media massa masih memuat tentang polemik jadi tidaknya penerapan kebijakan pembatasan penggunaan BBM Bersubsidi.

Kenaikan BBM bersubsidi sebesar 30 persen lebih ini justru akan memicu kenaikan di sektor tertentu secara langsung, seperti industri logistik dan distribusi, transportasi dan manufaktur dikisaran 10-25 persen.

Penyesuaian harga (Bahan Bakar Minyak) BBM menjadi hal yang banyak dibahas oleh berbagai kalangan, segala pro kontra juga muncul dari banyak pihak. Langkah ini merupakan sesuatu yang harus ditempuh, apalagi harga minyak dunia juga mengalami kenaikan, sehingga upaya penyesuaian harga BBM merupakan keputusan yang tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun