Mohon tunggu...
Auliya Rahma Zain
Auliya Rahma Zain Mohon Tunggu... Content Writer

Saya adalah mahasiswi dari Universitas Brawijaya dengan fokus dan minat yang mendalam dalam bidang kepenulisan. Sepanjang perjalanan akademik saya, saya aktif menulis berbagai artikel yang telah dipublikasikan di sejumlah situs, yang mencakup topik-topik mulai dari sastra, pendidikan, hingga isu-isu sosial. Saya berkomitmen untuk terus mengasah keterampilan menulis saya dengan mengikuti berbagai kegiatan dan proyek yang relevan, serta berkontribusi dalam pengembangan dunia literasi. Dengan tekad untuk memperdalam pengetahuan dan pengalaman di bidang ini, saya berambisi untuk menginspirasi dan memberikan dampak positif melalui karya-karya yang saya hasilkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Culture Shock Mahasiswa Perantau di Malang

2 Mei 2025   11:51 Diperbarui: 2 Mei 2025   11:55 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malang menjadi salah satu kota favorit tujuan kuliah di Indonesia. Suasananya yang sejuk, biaya hidup yang relatif terjangkau, serta banyaknya kampus ternama membuat kota ini dibanjiri mahasiswa dari berbagai daerah. Namun, di balik itu semua, para perantau sering dihadapkan pada hal-hal baru yang tak jarang membuat mereka terkejut dan kagok saat pertama kali datang.

Fenomena ini dikenal sebagai culture shock---kejutan budaya yang muncul karena perbedaan lingkungan dan kebiasaan. Lalu, culture shock seperti apa yang sering dialami mahasiswa perantau di Kaget udara dingin, bingung bahasa walikan, sampai makan ceker jam 2 pagi---beginilah culture shock mahasiswa perantau di Malang.


1. Bahasa Walikan dan Logat Lokal yang Kental

Salah satu hal pertama yang membuat mahasiswa baru merasa asing adalah bahasa. Malang punya ciri khas dalam bertutur, yaitu menggunakan bahasa walikan---yakni membalik kata dari belakang ke depan. Kata "Malang" jadi "Ngalam", "bisa" jadi "asib", dan "santai" bisa menjadi "iatnas". Bahasa ini umum digunakan di kalangan anak muda, baik di percakapan langsung, tulisan mural jalanan, bahkan di nama toko atau warung.

Selain itu, logat khas Jawa Timuran yang medok juga membuat beberapa perantau dari luar Jawa atau dari daerah berlogat lembut merasa kesulitan memahami percakapan awal. Misalnya, kata-kata seperti "opo" (apa), "rek" (teman), atau "kowe" (kamu) menjadi hal yang butuh waktu untuk dibiasakan. Tak sedikit yang akhirnya berusaha belajar sedikit-sedikit demi bisa berbaur.

2. Cuaca yang Sejuk dan Terkadang Menyengat Dingin

Berbeda dari banyak kota besar lain di Indonesia, Malang memiliki iklim yang lebih dingin, terutama di pagi dan malam hari. Bagi mahasiswa dari daerah panas seperti pesisir utara Jawa, Jakarta, atau luar pulau seperti Kalimantan dan Sulawesi, udara sejuk ini bisa jadi pengalaman baru yang mengagetkan.

Tak jarang mahasiswa baru harus menyesuaikan dengan membawa jaket tebal, selimut ekstra, hingga menyiapkan air hangat di kamar mandi. Beberapa bahkan mengalami gangguan kesehatan ringan seperti pilek atau batuk karena belum terbiasa dengan suhu yang jauh lebih rendah dari daerah asalnya.

3. Kebiasaan Nongkrong Sampai Tengah Malam

Budaya nongkrong di Malang sangat lekat, terutama di kalangan mahasiswa. Warkop (warung kopi), angkringan, dan kafe-kafe kecil tersebar hampir di seluruh sudut kota dan banyak yang buka hingga dini hari. Aktivitas nongkrong bukan hanya untuk bersantai, tetapi juga sering jadi ajang berdiskusi, berdinamika organisasi, atau bahkan mengerjakan tugas kelompok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun