Mohon tunggu...
Atep Abdul Rohman
Atep Abdul Rohman Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Santri dan Mahasiswa

Pria asal Bandung yang hobi naik gunung tapi takut ketinggian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perbandingan Toleransi Indonesia dengan Negara Barat

6 Agustus 2022   09:52 Diperbarui: 6 Agustus 2022   10:12 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Freepik.com

Bulan Agustus sudah tiba, rakyat Indonesia pun bergembira. Berbagai kegiatan dilakukan sebagai wujud syukur atas kemerdekaan yang telah dicapai. Hati dan jasad tak lagi terbelenggu oleh paksaan dan kekangan penjajah. Semua bebas berbuat selama tidak melanggar norma. Saat ini, rakyat Indonesia sudah merdeka setelah 3 abad lebih jadi budak di tanahnya sendiri.

Saya sangat bersyukur bisa hidup di Indonesia dengan penuh kedamaian. Tanah yang subur, alam yang kaya nan indah dan masyarakat yang beretika seakan Indonesia adalah surga dunia. Hal ini juga dirasakan oleh banyak orang-orang asing tatkala berkunjung ke Nusantara. Jika bisa, mereka ingin tinggal selamanya di Indonesia, seperti dulu saat Belanda yang betah berlama-lama sampai seakan-akan Nusantara jadi miliknya.

Hidup di Indonesia perlu banyak disyukuri. Negara mana lagi yang begitu banyak suku dan agama, tapi tetap bertoleransi? Di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak ini selalu menerima dengan senang hati tetangganya yang non Islam. Orang-orang Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu bisa tenang melakukan aktivitas agamanya di tengah-tengah kerumunan masyarakat Islam.

Jika melihat ke Eropa, negara-negara elit yang bergemilang harta dan kemewahan, apakah toleransinya sama seperti di Indonesia? Jelas berbeda.

Di Prancis, orang Islam tetap terpojokan dengan tekanan pemerintah yang anti Islam. Terdapat 234 inseden terkait tindakan anti-Islam di Prancis pada tahun 2019. Bahkan Prancis adalah negara dengan tindakan anti-Islam yang terus meningkat sepang tahun, sebagaimana yang dilaporkan oleh badan nasional hak asasi manusia, National Consultative Commission on Human Rights (CNCDH) mengutip di Republika.co.id.

Menurut sejarah, kegiatan imperialisme awal mulanya berasal dari Eropa. Imperialisme pertama dilakukan oleh Kerajaan Portugis dan Spanyol setelah perjanjian Tordesilas yang dipimpin oleh Paus Alexander VI pada tahun 1494 M. Hasil perjanjian itu adalah memberikan kewenangan kepada Kerajaan Spanyol untuk menguasai belahan dunia bagian barat. Sedangkan kerajaan Portugis diberikan kewenangan untuk menguasai belahan dunia bagian timur, termasuk Nusantara Indonesia.

Kedua kerajaan tersebut berlayar ke berbagai negara dengan membawa misi 3G, yaitu Gold, Gospel dan Glory. Gold berarti emas yang menunjukkan kekayaan dengan merampas harta setiap negara yang dilaluinya, Gospel berarti penyebaran agama Katolik ke seluruh dunia, dan Glory yang berarti kejayaan melalui gerakan 3G.

Masih menurut sejarah, penganut Katolik dan Protestan di Eropa tidak bisa hidup berdampingan. Hal tersebut berpengaruh terhadap pembagian wilayah di Eropa, sehingga pembagian wilayahnya harus sesuai dengan keyakinan. Negara kecil tidak apa-apa asalkan keyakinannya sama. Orang Barat tidak bisa hidup berdampingan dengan sesama agama (Kristen, hanya beda Katolik dan Protestan). Berbeda dengan Nusantara Indonesia, negara besar bisa menaungi berbagai agama dengan Bhinneka Tunggal Ikanya.

Jangankan antar agama, antar kulit putih saja masih terjadi konflik. Di Jerman, para buruh diperas tenaganya untuk keuntungan yang lebih besar tanpa adanya imbalan. Dari sana kemudian lahirlah paham Komunis yang digaungkan oleh Karl Marx untuk membela para buruh yang disiksa oleh para pemilik modal. Paham komunis lahir karena melihat penyiksaan dan penjajahan dilakukan dan didukung oleh orang-orang beragama, yaitu Katolik dan Komunis.

Begitulah mulanya penjajahan yang membawa nama agama sebagai pembenaran atas tindakan kejinya. Jika saja orang-orang Barat datang ke Nusantara tanpa adanya perampasan dan kristenisasi secara paksa, maka niscaya mereka bisa hidup rukun di Indonesia. Sama seperti dulu, China dan bangsa Arab diterima dan bisa menyatu dengan pribumi Nusantara karena tidak melakukan perampasan hak-hak pribumi.

Akhirnya, kita harus selalu bersyukur berada di Indonesia, negara yang damai dan merdeka dengan sepenuh jiwa dan raga. Indonesia tak seperti Amerika yang sudah dijajah lalu balas dendam untuk menjajah. Indonesia adalah Indonesia dengan harga dirinya yang memegang teguh prinsip Bhinneka Tunggal Ika, berbeda beda tetapi tetap satu jua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun