Mohon tunggu...
Rengga Muslim
Rengga Muslim Mohon Tunggu... -

History Educator | Announcer of 107.7 Madani FM | Duta Bahasa Jabar | Translator | Writer | Coffee Addicted | Follow me on twitter @rengga_muslim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasionalisme?

20 Mei 2013   10:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:18 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam wacana barat nasionalisme adalah suatu gerakan dari kelompok-kelompok bangsa yang bersifat politik dan sosial yang memiliki persamaan budaya, bahasa, wilayah, serta persamaan cita-cita dan tujuan. Namun jika dilihat secara etnografis jika paham nasionalisme telah ada sejak jaman dahulu, sejak manusia mulai paham tentang konsep tanah airnya, ini tentu jauh sebelum konsepsi tentang negara ada. Secara luas nasionalisme bisa dipandang sebagai kecintaan terhadap tanah air. Bagaimana sikap setiap bangsa ketika tanah mereka direnggut dan dieksploitasi oleh bangsa asing. Kesadaran dalam mempertahankan tanah dan harkat-martabat bangsa itu juga bisa kita maknai sebagai bentuk dari nilai-nilai nasionalisme.

Nasionalisme adalah roh bagi suatu bangsa untuk dapat bertahan menjaga hak dan martabatnya di tengah ancaman dan berbagai tantangan dominasi asing. Gerakan nasionalisme telah ada di dalam relung setiap umat, terlepas dari berbagai coraknya. Paradigma yang coba kami tawarkan adalah bagaimana memandang nasionalisme itu. Kita bisa lepas dari konsep atau pengertian nasionalisme ketika itu telah menjadi ruh yang hidup dalam pergerakan setiap bangsa dalam merebut kemerdekaan.

Kita selalu terfokuskan pada paradima jika nasionalisme selalu diukur dari sudut pandang saat suatu bangsa sadar akan konsepsi negara. Padahal itu jelas merupakan sebuah bentuk penjajahan pemikiran. Ketika pemaknaan kita tentang nasionalisme tersempit dan hanya sampai pada konsep tentang negara. Karena, jika kita hanya melihatnya dari sisi itu, apakah orang-orang Indonesia pra kemerdekaan 1945 disebut sebagai orang yang tidak punya jiwa nasionalisme? Ini merupakan sebuah wacana klasik yang tak pernah berujung.

Dr. Frederick Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics, mengidentifikasi 4 (empat) unsur nasionalisme, yaitu hasrat untuk mencapai kesatuan, mencapai kemerdekaan, mencapai keaslian, dan kehormatan bangsa. Jadi seorang nasionalis sejatinya akan mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya.  Dari sini kita bisa melihat kekuatan nasionalisme sebagai pengikat suatu bangsa untuk bergerak dan melawan tatanan kolonial yang membatasi hasrat ini. Dalam sejarah umat manusia diyakini bahwa nasionalisme merupakan penghancur tirani kolonialisme dan imprealisme.

Dari paradigma di atas tidak dapat ditampikkan jika Nasionalisme memang digerakan oleh para kaum elit terdidik. Tapi satu hal ironik adalah pandangan yang selalu mengaitkan nasionalisme di Indonesia dengan berbagai peristiwa di luar yang seolah-olah bangsa kita hanya bisa mengekor pada bangsa lain. Dalam buku-buku teks bahwa kesadran nasionalisme selalu di asosiasikan dengan gerakan revolusi di Prancis, kemenangan Jepang atas Rusia, kaum Priyayi yang telah mendapat pendidikan ‘Barat’. Dengan mengenyampingnya landasan etnografisnya.

Ternyata, gerakan para nasionalisme modern abad 20 juga diilhami oleh gerakan sebelumnya seperti gerakan-gerakan pemebrontakan melawan penjajah pada jaman kerajaan-kerajaan. Jika kita menilik nilai apa nilai-nilai dari nasionalisme sejak awal, maka kita dapat membuat sebuah analisis jika gerakan petani, dan pribumi juga memiliki nilai-nilai itu. Kata natio dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan Latin seperti Perancis yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran” menunjukkan sebuah kondisi akan kecintaan pada tanah asal. Ketika datang para penjajah yang mengambil hak-hak rakyat atas tanahnya. Maka gerakan ini menunjukkan sebuah kecintaan pada tanah air. Selain itu jika kita melihat hubungan rakyat Indonesia kini dan mereka dari masa kerajaan ada sebuah hubungan darah yang mengikat. Kesamaan ras, tidak seperti Amerika atau Australia yang didominasi orang Eropa. Bangsa kita masih tetap sama seperti rakyat Indonesia yang dulu. Maka sebuah pemikiran yang sempit, jika menganggap bahwa Indonesia pra-1945 bukanlah Indonesia.

Konsep Nasionalisme dalam paradigma liberal disempitkan dengan paradigma sebelum dan sesudahnya kemerdekaan suatu bangsa-bangsa dari dominasi Eropa. Dalam karangka ini, penulis mencoba memberikan pandangan lain. Jika nasionalisme telah ada sejak lama, hidup seiring dengan pergerakan sejarah bangsa Indonesia. Sebagai contoh kita dapat melihat sosok Tjipto, walau ia sangat mengagumi tatanan kehidupan Barat, namun ia juga sangat cinta pada tatanan Indonesia pra Islam. Sehingga dia menuntut sebuah tatanan Hinduisme. Gerakan pada abad 20 lahir dengan banyak rupa. Para ahli mengelompokkannya ke dalam tiga jenis gerakan. Yaitu, gerakan yang mengusung Islam sebagai tatanan ideologi, ada gerakan yang mengusung hasil sinkrestisme Islam dan pra islam, dan yang bergerak dalam ranah nasionalisme.

Nasionalisme pada abad 20 bisa kita pandang sebagai wajah baru dari nasionalisme lama yang dilebelisasi dengan konsep turunan barat ‘Nationalism’ abad 19. Nyawa nasionalisme itu hidup jauh sebelum konsep itu ada.

Ketika kita mecoba memahami itu dari sisi etnografisnya maka kita akan sadar. Jika nasionalisme talah hidup dihati setiap manusia. Rasa memiliki, keterikatan yang menciptakan sebuah hubungan romantis antara manusia dan tanah asalnya. Gerakan priyayi abad 20 sebagai sebuah konsep baru dari gerakan pembebasan. Melihat dinamika yang ada jika gerakan abad 20 adalah sebuah usaha untuk lepas 100 persen dari dominasi asing. Sebagai bangsa jelas mereka ingin mewujudkan sebuah cita-cita, dimana Indonesia harus dapat mengelola negaranya sendiri dan memilih jalannya sendiri dalam menyongsong masa depan.

Tanpa menampikkan peran dari luar, nasionalisme dari Barat sebagai sebuah labelisasi dari jiwa nasionalisme yang telah dimiliki setiap bangsa. Etnisitas sebuah ciri dari suatu bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain. Walau dari segi kultural kita tahu, jika Indonesia merupakan bangsa yang multi-kultural, namun konsensus yang terjadi 1945 tidak semata-mata sebuah kebetulan belaka. Tentunya ini tak lepas dari interaksi berabad-abad silam yang telah terbentuk dari mulai kedatang ras Malayan Mongoloid sampai silih bergantinya peradaban yang masuk. Indonesia telah menjadi sebuah bangsa yang memiliki cirinya sendiri. Oleh sebab itu melalui tulisan ini semoga kita lebih terbuka dalam memaknai konsep nasionalisme.   Nasionalisme bisa hadir dengan berbagai bentuk dan pemaknaan konsep yang plural. Namun, sebuah konsepsi bersama itu harus dijadikan sebagai semangat bagi bangsa ini untuk bersatu dan menjalani kehidupan bersama yang harmonis terlepas dari dominasi asing.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun