Solo, 16 Juli 2025 -- Kondisi kegawatdaruratan menuntut respons cepat, akurat, dan terkoordinasi dari seluruh tenaga kesehatan. Dalam situasi ini, kolaborasi antarprofesi menjadi pondasi utama untuk menjamin keselamatan pasien sekaligus meningkatkan efisiensi pelayanan. Berangkat dari urgensi tersebut, Research Group Medical and Health Profession Education (RG MHPE) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (FK UNS) mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat yang berfokus pada penguatan kerja sama antarprofesi dalam situasi trauma dan emergensi di Puskesmas Karangdowo, Kabupaten Klaten.
Selasa, 8 Juli 2025, Research Group Medical and Health Profession Education (RG MHPE) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (FK UNS) mengadakan pengabdian Masyarakat dengan melakukan kunjungan sekaligus pemberian edukasi terkait kolaborasi antarprofesi kepada seluruh staf dan tenaga kesehatan di Puskesmas Karangdowo, Kabupaten Klaten dengan mengangkat judul "Kolaboratif dalam Kondisi Trauma dan Emergensi".
Kolaborasi antarprofesi atau sering disebut dengan intraprofesional collaboration dalam pelayanan kesehatan adalah hal yang penting dan patut diperhatikan oleh tenaga medis. Pasalnya kolaborasi antarprofesi sangat dibutuhkan dalam suatu fasilitas kesehatan untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan dan mengurangi risiko terjadinya kesalahan dalam tindakan medis. Dengan demikian Interprofessional Education and Collaboration (IPEC) atau Pendidikan Kolaborasi antarprofesi sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan setiap tindakan medis maupun non-medis di fasilitas kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
Acara dibuka dengan sambutan oleh ketua RG MHPE sekaligus Wakil Dekan I FK UNS, Prof. Dr. Eti Poncorini Pamungkasari, dr., M.Pd., lalu dilanjutkan sambutan oleh Kepala Puskesmas Karangdowo, dr. Fitriah Siti Aisyah sebagai pembukaan dan diiringi dengan yel-yel penyemangat dari Puskesmas Karangdowo. Kemudian acara dipandu oleh dr. Amandha Boy Timor Randita, MMedEd., Sp.K.F.R. sebagai MC.
Penyampaian materi dengan judul "Kolaboratif dalam Kondisi Trauma dan Emergensi" diberikan oleh dr. Ardhana Surya Aji, Sp.An-TI, dokter spesialis anestesi RS UNS. Beliau menjelaskan bagaimana suatu tim yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dapat saling bekerja sama ketika menangani kondisi kegawatdaruratan. Beliau menyampaikan bahwa 70--80% kesalahan dalam tindakan medis disebabkan oleh miskomunikasi, sehingga sangat penting bagi setiap tenaga kesehatan untuk dapat saling berkomunikasi dengan baik dan menyampaikan perbedaan pendapat dalam mempertimbangkan kondisi dan perlakuan kepada pasien.
Beliau menyebutkan bahwa peran dokter dalam kolaborasi antarprofesi adalah sebagai leader atau pemimpin, sehingga dokter tidak hanya sekadar mengarahkan setiap profesi sesuai dengan peran dan kompetensinya, tetapi juga harus bisa bertindak sebagai mediator jika terdapat perbedaan dan permasalahan di antara tenaga kesehatan. Dalam diskusi yang berlangsung, para tenaga kesehatan diajak merefleksikan kembali pentingnya komunikasi efektif dalam sebuah tim multidisipliner. Miskomunikasi tak jarang menjadi sumber utama kesalahan medis, terutama dalam kondisi darurat yang menuntut keputusan cepat. Oleh karena itu, membangun komunikasi yang terbuka dan saling menghargai perbedaan pendapat menjadi kunci utama. Setiap profesi memiliki keahlian masing-masing yang apabila dikolaborasikan dengan baik, akan menghasilkan tim yang kuat dan responsif terhadap setiap permasalahan klinis. Di sinilah pentingnya peran dokter sebagai pemimpin tim, yang tidak hanya mengatur jalannya pelayanan, tapi juga mampu menjadi penengah ketika konflik muncul dalam proses kerja.
Dalam praktiknya, setiap keputusan medis perlu didasarkan pada kebutuhan pasien yang bersifat individual. Oleh sebab itu, seluruh tim kesehatan harus bersama-sama menyusun rencana perawatan yang menyeluruh, bukan berdasarkan pandangan tunggal. Pendekatan seperti ini tidak hanya meningkatkan kualitas klinis, tapi juga membangun kepercayaan antara pasien dan tenaga medis. Upaya ini perlu didukung dengan pelatihan rutin, pembelajaran bersama, serta evaluasi dan pemberian umpan balik terhadap tindakan-tindakan medis yang telah dilakukan. Keterlibatan pasien dan keluarganya juga tidak kalah penting. Sebagai pihak yang paling terdampak, suara mereka harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan untuk menjamin kepuasan dan keberhasilan terapi.
Dalam sesi pelatihan teknis, peserta dibekali keterampilan dasar penanganan kegawatdaruratan, terutama pada kondisi syok akibat perdarahan yang merupakan kasus paling sering ditemui di lapangan. Langkah awal yang ditekankan adalah mengamankan lokasi kejadian, dilanjutkan dengan manajemen airway. Dr. Ardhana menekankan bahwa membuka jalan napas adalah prioritas utama karena tanpa patensi airway, upaya oksigenasi menjadi tidak efektif. Beliau mendemonstrasikan teknik intubasi menggunakan ETT serta metode ventilasi dengan face mask menggunakan teknik C-E clamp. Setelah itu, pemeriksaan sirkulasi dilakukan secara menyeluruh dengan pemberian infus sebagai tindakan awal, dan dalam kasus perdarahan berat, pasien harus segera dirujuk ke dokter bedah. Penting pula untuk menjaga suhu tubuh pasien agar tidak mengalami gangguan pembekuan darah atau koagulopati, yang bisa memperparah keadaan.