Gelombang ketidakpastian ekonomi global masih menghantui kinerja negara-negara berkembang. Investasi asing langsung (foreign direct investment atau FDI) tercatat melemah tajam dalam dua tahun terakhir, seiring meningkatnya proteksionisme, konflik geopolitik, serta inflasi yang belum sepenuhnya terkendali. Â Menurut laporan World Bank terbaru, aliran FDI ke negara berkembang pada 2023 hanya mencapai US$435 miliar, level terendah sejak 2005. Angka tersebut bahkan turun hampir separuh dibandingkan masa puncaknya pada 2008. Dari total investasi itu, hampir sepertiga mengalir ke Tiongkok, sementara Brasil dan India masing-masing menyerap sekitar 10 persen dan 6 persen. Negara-negara termiskin di Afrika dan Amerika Latin hanya kebagian sekitar 3 persen dari total investasi global. Â
Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi modal global. UNCTAD mencatat, kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu pengecualian dengan pertumbuhan FDI sekitar 10 persen sepanjang 2024, didorong oleh masuknya investasi ke sektor manufaktur, energi terbarukan, dan ekonomi digital. Indonesia, Vietnam, dan Malaysia termasuk negara yang mulai menarik minat investor global karena pasar domestik yang besar dan biaya produksi yang kompetitif. Â Namun, tren positif di Asia belum cukup mengimbangi perlambatan di kawasan lain. Di Afrika dan Amerika Latin, arus investasi justru melemah akibat ketidakpastian kebijakan, lemahnya infrastruktur, serta tingginya biaya pembiayaan. Situasi global yang penuh tekanan juga membuat banyak perusahaan multinasional menunda ekspansi ke pasar berkembang, menunggu kondisi makroekonomi yang lebih stabil. Â
Dampaknya, pertumbuhan ekonomi di negara berkembang ikut melambat. Laporan PBB memproyeksikan pertumbuhan global pada 2025 hanya berada di kisaran 3,2 persen, dengan inflasi pangan dan energi masih menjadi ancaman utama bagi stabilitas harga di negara berpendapatan rendah. Tekanan utang publik pun meningkat, memaksa beberapa negara untuk melakukan pengetatan fiskal. Â Meski demikian, peluang bagi negara berkembang tetap terbuka. Perubahan arah ekonomi dunia menuju digitalisasi dan transisi energi hijau menciptakan ruang baru untuk pertumbuhan. Negara-negara yang mampu memanfaatkan teknologi digital, mengembangkan infrastruktur hijau, dan menjaga stabilitas makroekonomi diperkirakan akan menjadi magnet investasi berikutnya. Â Indonesia misalnya, kini mulai menunjukkan daya tarik di sektor green industry dan teknologi digital. Peningkatan investasi di bidang kendaraan listrik, energi terbarukan, serta start-up teknologi menjadi sinyal positif bahwa negara berkembang tidak sepenuhnya tertinggal dalam arus transformasi global. Â Ekonom menilai, kunci utama bagi negara berkembang adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kepastian hukum, reformasi birokrasi, serta kualitas sumber daya manusia menjadi faktor penting dalam menarik modal asing.Â
Selain itu, kolaborasi regional seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) juga bisa menjadi langkah strategis untuk memperkuat posisi negara berkembang di rantai nilai global. Â Ke depan, tantangan terbesar bagi negara berkembang bukan sekadar menarik investasi, tetapi memastikan investasi tersebut berdampak pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Dengan kebijakan yang adaptif, arah pembangunan yang berkelanjutan, dan komitmen pada stabilitas ekonomi, negara berkembang berpeluang menjadi motor baru pertumbuhan ekonomi dunia di tengah perubahan lanskap global yang semakin kompleks.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI