Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pesan Tuhan untuk Prabowo dan Jokowi, Calon Presiden Indonesia

31 Maret 2019   23:21 Diperbarui: 1 April 2019   04:40 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika


Banjir diskusi politik kian mencapai stadium empat. Sebentar lagi mungkin kiamat. Syukurlah kita semua masih manusia. Bisa berpikir kritis menghambat emosi. 
Politik bak dua biji mata. Rusak satu sengsara yang lain. Butuh keseimbangan di dalamnya. Terkadang bikin bahagia, namun lebih banyak miris dan tegang.
Saat ini dalam sabana politik Indonesia, banyak rumput kebencian tumbuh liar. Entah, ditanam oleh elite-elite politik maupun tumbuh dari narasi subjektif masyarakat umumnya.
Orang mudah membakar rumput-rumput liar itu dengan sebuah rekaan post-truth yang utuh tanpa sebuah daya kritis. Akibatnya yang benar bisa disalahkan dan yang salah bisa dibenarkan.
Di tengah padang sabana politik saat ini, satu orang tengah "tersesat" di dalamnya. Tersesat bukan karena tak tahu jalan keluar tapi sulit menelusuri jalan kembali.
Hampir semua orang datang dari masa lalu. Demikian juga dia yang tersesat di padang sabana politik Indonesia saat ini. Satu perbedaan yang bisa dilihat adalah banyak orang senang mengenang masa lalu. Namun, sang pengembara ini enggan kembali ke masa lalu. 
Ada Apa?Dalam debat capres ke empat terlihat karakter kepemimpinan sang pengembara. Pengalaman masa lalu sebagai anggota militer meyakinkan dia dalam narasi yang kuat. Ketahanan negara harus dikawal demi sebuah kedamaian.
Dalam banyak kesempatan dia berjanji akan mengejar para koruptor di negeri ini. Niatnya sungguh suci dan mulia. Inilah sosok pemimpin yang baik. Dia tahu ke arah mana kapal Indonesia akan berlayar. Dia seperti kapten kapal yang terus berteriak untuk tetap berjalan di tengah arus badai zaman. 
Sosok pengembara ini memiliki ambisi yang baik demi Indonesia. Serangan badai silih berganti tapi dia tetap berteriak. Satu hal yang bisa diprediksi Indonesia dalam tampuk kepemimpinannya pasti aman. Apakah mungkin?
NodaAda noda di baju pengembara ini. Noda yang tak bisa dibersihkan oleh deterjen apapun. Bisa jadi akan bersih saat nanti terpilih jadi pemimpin membawa Indonesia semakin aman, damai dan sejahtera. 
Peristiwa kemanusiaan menjadi dasar yang ditentang semua orang. Peristiwa 1998 menjadi awal dari noda yang ada. Nasib prajurit, harus taat kepada pemimpin. Tragis dan sulit ditentang. Semua kita tahu peristiwa itu dan mungkin ada yang terlibat langsung. Biarlah narasi kehidupan itu meresap bersama doa buat para korban.
Bias peristiwa masa lalu berdampak pada pengembara ini. Banyak debat dipertontonkan dari para elite di ruang media massa. Kupas mengupas, kulit mengulit peristiwa ada di tangan mereka. Seksi bercampur tragis mengiris ruang hati. Banyak kutukan jatuh bagi pelaku untuk menguatkan keluarga korban yang tak bersalah. 
Itulah politik. Menggelitik, picik dan licik. Akibat bermain api politik, pengembara itu mulai kepanasan. Saat ini adalah waktu yang tepat baginya untuk menimbah air kepercayaan masyarakat agar bisa membasahinya dengan sebuah kepercayaan menjadi pemimpin. Kiranya dengan air itu bisa meredam panasnya suhu tubuh akibat peristiwa masa lalu. 
Syarat jika sang pengembara terpilih menjadi nahkoda kapal republik adalah jangan mengulang masa lalu. Berusahalah menjadi manusia futuristik yang membawa kapal NKRI ke arah yang baik. Terlalu sakit untuk dikenang dan terlalu cepat untuk dilupakan peristiwa kemanusiaan itu.
Sang Pengembara: Putra TerbaikMaju dalam kontestasi politik terbesar Indonesia sangat tidak mudah. Apalagi menjadi calon presiden untuk negara dengan tujuh belas ribu pulau ini, berat. Lolos dalam seleksi sebagai calon pemimpin itu sudah luar biasa. Bisa dibilang dia adalah putra terbaik bangsa. Jika terpilih dia akan menjadi pemimpin dan jika tidak dia akan menjadi warga negara yang pasti sangat nasionalis. 
Menjadi pemimpin adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Perlu menjadi manusia tanpa kepentingan lain selain demi NKRI. Lepas total dalam satu pemikiran dengan arah berpikir global yang lebih menyeluruh. 
Narasi dan orasi tidak sekadar ornamen yang menunjukkan bahwa dia keras dan tegas. Memimpin dengan lembut adalah sebuah ketegasan yang sangat baik. Emosi yang menggebu-gebu bukanlah bahasa seorang pemimpin. 
Saring before sharing dan berpikir before speaking. Ingat, kualitas seorang pemimpin bisa diukur dari bahasa yang dilontarkan karena bahasa adalah cerminan jiwa seseorang. 
Semua yang maju dalam  pesta demokrasi kali ini adalah putra-putri terbaik bangsa. Patut mensyukuri hal ini. Indonesia masih memiliki fondasi yang kuat untuk sebuah bangsa yang besar di bawah payung Pancasila. 
Perlu diingat status putra-putri terbaik bangsa tidak diukur dari niat untuk maju menjadi calon. Semuanya menjadi jelas ketika mereka terpilih menjadi pemimpin. Apa yang telah dan akan mereka lakukan untuk orang-orang yang dengan susah payah meninabobokan mereka di kursi pemerintah? 
Pemimpin yang baik melayani dengan rendah hati. Dia menempatkan diri pada telapak kaki masyarakat. Membersihkan kotor-kotor kemiskinan. Memapah masyarakat dalam kenyamanan. Memegang semua orang menuju keseimbangan hidup. 
Kesuksesan seorang pemimpin tidak dilihat dari statusnya sebagai apa tetapi dari seberapa banyak keringat kerja yang dia tumpahkan untuk banyak orang.
Pesan Tuhan untuk Prabowo dan Jokowi, Calon Presiden IndonesiaPrabowo dan Jokowi adalah pemimpin yang dititipkan Tuhan untuk Indonesia. Karena menghargai kebebasan manusia, Tuhan tidak langsung memilih Jokowi atau Prabowo menjadi pemimpin Indonesia. Tuhan tinggal di hati nurani rakyat untuk memilih pemimpin yang paling baik. Untuk itu, tindakan memaksa atau mengambil suara rakyat merupakan tindakan melanggar kehendak Tuhan.
Terlepas dari rekam jejak masa lalu, keduanya adalah putra pilihan bangsa. Indonesia akan maju dalam tangan keduanya. Hanya saja Tuhan tahu siapa yang lebih layak menjadi pemimpin. Keduanya mungkin karena kita tak bisa menyelami misteri dan kehendak Tuhan.
Maka dari itu, berhentilah menebarkan kebencian, hoaks, dan mengorek masa lalu untuk kedua calon pemimpin kita. Tuhan saja tidak mempersoalkan kelemahan manusia, mengapa manusia selalu bersoal tentang manusia? 
Tuhan butuh kita menyukseskan rencana-Nya. Jangan menjadi pecundang di hadapan Tuhan dengan narasi-narasi kebencian. Kita semua diundang untuk menyukseskan pesta ini. Jangan buat Tuhan sakit kepala memikirkan kekanak-kanakan kita. Mari menjadi manusia demokrasi bukan menjadi manusia democrazy. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun