Mohon tunggu...
Aswar Anas
Aswar Anas Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Alhamdulillah atas nikmatMu sejauh ini

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Melawan Sebuah Rasa

17 Desember 2018   19:01 Diperbarui: 17 Desember 2018   19:14 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini berangkat dari pergolakan hati antara organisasi dan perasaan.

Ketika menjadi seorang pemimpin diantara banyak kader. Selalu saja ada perasaan lebih terhadap salah seorang kader. Hal ini wajar, karena tak ada yang bisa memaksakan perasaan untuk berpihak kepada siapa. Namun pemimpin tetaplah seorang pemimpin. Seseorang yg berhak untuk ditiru yang menjadi role model untuk para kadernya.

Bagaimana mungkin bisa menjadi pemimpin banyak orang, jika memimpin dirinya saja sudah kelabakan. Terlebih mengenai perasaan suka. Sesuatu yg wajar dalam sebuah organisasi kecil,  namun hal tersebut perlu dimanage. Memang berat, namun coba lihat dampak 10 kali langkah kedepan.

Ketika kita terjebak dalam perasaan yang berlebih kepada salah satu kader, apa kita tetap yakin bahwa kita akan tetap profesional dalam berorganisasi? Apa kita yakin bahwa kita bisa objektif dlm menentukan sikap atau pilihan? Apa kita yakin bahwa kita benar-benar adalah role model bagi seluruh kader?

Melawan sebuah rasa memang berat. Namun ketika kita sudah diberikan amanah, maka sebuah rasa adalah hal yang harus dikorbankan. Sebuah rasa adalah konsekuensi dari amanah yg sudah kita terima.

Ketika berbicara hati dan perasaan, selalu terpikirkan oleh ingatan. Terlebih ketika sedang sendiri. Rasa itu selalu saja muncul, meski otak harus selalu melawan. Pergolakan antara hati dan otak akan terus terjadi.

Saya terus dan terus mengingatkan kepada diri saya, untuk selalu berpikir dengan rasional ketika menghadapi keadaan seperti ini. Saya selalu mencoba untuk meminimalisir keikutsertaan hati dan perasaan. Namun perasaan tetaplah perasaan, selalu saja masuk ke pikiran manusia biasa meski kita selalu berupaya menutupi celah tersebut.

Ketika hal ini terjadi, maka pilihan ada di diri kita. Ketika kita mampu memanage perasaan kita, maka rasional yang akan muncul. Namun ketika kita tidak mampu memanage perasaan kita, maka "jatuhlah kita".

Inilah sekelumit pergolakan yang ada di diri saya, ketika organisasi dan perasaan bertemu di saat yang bersamaan. Sebagai pemimpin, saya harus tetap memilih antara profesionalitas dan perasaan. Maka saya harus mengorbankan perasaan saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun