Mohon tunggu...
ASWAN NASUTION
ASWAN NASUTION Mohon Tunggu... Kontributor Tetap

Menulis adalah bekerja untuk keabadian” Horas...Horas ..Horas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hakim

6 Oktober 2025   07:34 Diperbarui: 6 Oktober 2025   07:34 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi hakim bukan sekadar soal bisa mengetukkan palu sambil berkata sidang saya nyatakan selesai, tapi tentang menanggung tanggung jawab sebesar gunung yang dipikul di atas bahu manusia biasa. Dasar hukumnya kokoh mulai dari UUD 1945 Pasal 24 yang menegaskan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, hingga UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebut hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk mengadili secara bebas, jujur, dan tidak berpihak. Karena itu, syarat untuk menjadi hakim pun tidak main-main. Selain harus WNI, bertakwa, sehat jasmani rohani, dan sarjana hukum, calon hakim juga wajib berusia minimal 25 tahun, memiliki integritas tanpa cela, serta melewati ujian seleksi super ketat, pendidikan calon hakim, hingga masa magang sebelum boleh duduk di kursi kehormatan itu. Dan setelah semua perjuangan itu pun, tantangan sesungguhnya baru dimulai: ia harus siap memutus perkara berdasarkan hukum dan nurani, bukan tekanan, pesanan, atau komentar netizen yang lebih pedas dari sambal ulek. Maka tak berlebihan jika dikatakan, hakim sejati bukan hanya ahli membaca pasal, tetapi juga ahli membaca hati manusia --- sebab hukum tanpa nurani hanyalah kalimat kaku di atas kertas, dan palu tanpa keadilan hanyalah kayu biasa yang tak lebih berharga dari alu penumbuk cabai di dapur.

Dalam sistem hukum, hakim ibarat kompas moral yang menentukan arah peradaban hukum suatu bangsa. Mereka tidak sekadar membaca pasal demi pasal seperti petugas loket membacakan nomor antrean, tetapi juga menafsirkan makna keadilan yang sering kali lebih rumit dari resep obat dokter. Peran hakim bukan hanya menjatuhkan vonis, melainkan menghadirkan hukum sebagai napas kehidupan yang adil bagi seluruh warga negara. Tugas itu berat --- dan tidak ada manual book-nya. Hakim dituntut berpijak pada teks hukum, tapi juga harus peka pada konteks sosial; menjaga jarak dari kekuasaan, tapi tak boleh buta terhadap realitas yang melingkupinya.

Pada akhirnya, hakim itu bukan malaikat bersayap toga yang turun dari langit membawa keadilan, melainkan manusia biasa yang diberi tanggung jawab luar biasa --- dan karenanya bisa salah langkah kalau tak berhati-hati. Tapi justru di situlah keindahan profesi ini: ia menuntut logika setajam pisau bedah dan nurani selembut kapas. Hakim harus cukup kuat untuk tidak goyah oleh tekanan kekuasaan, cukup bijak untuk tak tergoda suara massa, dan cukup rendah hati untuk sadar bahwa setiap putusan bukan tentang menang atau kalah, melainkan tentang menegakkan nilai hidup bernama keadilan. Kalau hukum adalah resep, maka hakim adalah koki --- dan kita tentu tak ingin keadilan kita disajikan mentah atau gosong hanya karena sang koki terburu-buru atau tergoda bonus dari supplier bahan. Jadi biarlah palu itu tetap mengetuk bukan atas nama siapa yang paling kuat teriak, tapi atas nama hukum, nurani, dan akal sehat --- tiga hal yang kalau berjalan bersama, akan membuat ruang sidang jadi tempat suci, bukan sekadar panggung drama hukum.

Secara ilmiah, hakim memegang tiga fungsi utama: adjudikatif (memutus perkara), interpretatif (menafsirkan hukum), dan kreatif (mengisi kekosongan hukum dengan putusan yang adil). Di sinilah seni berpikir tingkat tinggi bekerja. Hakim tidak bisa sekadar berkata, Pasalnya bilang begini, titik. Sebab kenyataan di lapangan kadang jauh lebih berliku daripada isi teks undang-undang yang kaku. Ia harus mampu membaca motif di balik tindakan, memahami dampak sosial putusan, bahkan kadang membaca bahasa tubuh saksi seperti psikolog membaca wajah pasiennya. Ini bukan pekerjaan untuk mereka yang mudah baper atau cepat panik; salah satu keputusan bisa mengubah hidup seseorang --- dari orang bebas menjadi terpidana, atau sebaliknya.

Namun, di balik toga hitam yang terlihat gagah itu, ada godaan yang tak kalah hitam. Kekuasaan, tekanan politik, opini publik, hingga amplop misterius yang muncul seperti sulap --- semua bisa menggoda hakim keluar dari rel integritas. Karena itu, etika adalah benteng terkuat seorang hakim. Seperti kata Lord Denning, hakim legendaris Inggris, Kepercayaan publik pada peradilan lebih berharga daripada emas. Tanpa integritas, hakim hanyalah pembaca undang-undang dengan palu kayu di tangan, bukan penjaga keadilan. Maka, tugas hakim adalah memastikan bahwa setiap palu yang diketukkan bukan karena pesanan penguasa atau tekanan massa, tetapi semata-mata demi hukum dan nurani.

Menjadi hakim di zaman sekarang pun tak kalah menantang. Jika dulu tekanan datang dari ruang sidang, kini tekanan bisa datang dari kolom komentar netizen yang jumlahnya lebih banyak dari isi berkas perkara. Satu putusan bisa langsung viral, dan hakim pun mendadak jadi artis dadakan di jagat maya. Tapi justru di sinilah kebesaran peran hakim diuji: tetap tenang di tengah badai opini, tetap adil ketika semua orang berteriak minta berpihak. Ia bukan pelayan kemarahan publik, melainkan pelayan keadilan.

Pada akhirnya, hakim adalah simbol tertinggi dari peradilan --- manusia biasa yang diberi mandat luar biasa untuk memutus nasib sesama manusia. Mereka berjalan di atas garis tipis antara hukum dan keadilan, antara teks dan konteks, antara pasal dan nurani. Dan meskipun palu di tangannya hanya terbuat dari kayu, sekali diketukkan, ia bisa menggetarkan sendi-sendi kekuasaan. Karena itu, marilah kita tidak hanya menuntut hakim untuk adil, tetapi juga memberi mereka ruang, dukungan, dan penghargaan, agar toga hitam itu tetap menjadi lambang kehormatan, bukan sekadar kostum panggung peradilan.

Hakim bukan sekadar corong undang-undang , tetapi harus menjadi penjaga keadilan yang hidup di tengah masyarakat.- Satjipto Rahardjo

Horas Hubanta Haganupan.

Horas ...Horas ... Horas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun