Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Suka Kamu

29 Desember 2020   11:55 Diperbarui: 29 Desember 2020   12:05 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku suka kamu adalah suatu bentuk komunikasi sosial yang positip.Tetapi itu sepertinya tidak sesuai dengan nasehat Ali bin Abi Thalib : "Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang tidak menyukaimu tidak percaya itu."  (Fb, halaman Sdr. Misbahul A.T. tg 26 Desember 2020) Postingan nasehat itu dalam 4 jam ditanggapi lebih dari 10 orang dan mayoritas setuju.

Pernyataan "Aku suka kamu" dan yang senada dengan itu, saya amati banyak beterbangan di obrolan Facebook, itu yang bisa saya amati. Bahwa itu ditujukan kepada siapa atau saya, tidak saya jelaskan,bisa ya bisa tidak, sebab saya setuju mengikuti nasehat Ali bin Abi Thalib itu.

Sebelum orang bilang "Aku suka kamu",saya berpendapat semestinya orang itu melalui tahapan. Saling Mengenal, bisa memahami, lalu perkiraan bersedia untuk berlayanan. Padahal Saling Mengenal Memahami Melayani pribadi yang berbeda itu sebenarnya tidak selalu mudah. Sebab perbedaan pribadi itu sangat luas dan dalam intensitas dan nuansa yang beraneka rupa.

Perbedaan yang paling 'menggairahkan' itu perbedaan gender. Perbedaan yang paling 'strategis' adalah perbedaan kepercayaan. Tidak semua orang dapat menempatkan hal itu pada tempatnya yang aman dan menyamankan.Maka sering timbul masalah karenanya. Perbedaan yang paling 'spektakuler' adalah perbedaan arah politik. 

Spektakuler karena semua ingin menampakkan diri. Dan sangat cenderung manyatakan dengan cara kasar atau halus dengan tegas atau penuh strategi mulus.: "Aku tidak suka kamu". Bahkan saya baru saja baca ulasan tentang cara 'pembunuhan karakter', membuat lawan mati kutu, oleh rasa malu, jera, sungkan atau takut.

Dalam kehidupan sehari hari dimana para pria atau wanita,akrab berkumpul santai dengan spontan pembicaraan akan sampai pada perihal lawan jenisnya. Kebersamaan kerumunan terbatas memberi kesan bebas bicara dalam keterbatasan karena masih terkesan tertutup seperti area privat saja. Apalagi mereka masih terbatas pada canda dan pembicaraan saja. Berbicara tentang lawan jenis, seperti juga orang menyatakan Aku Suka Kamu adalah komunikasi sosial, yang harus dinilai berdasarkan kaidah kebiasaan dan kesantunan adat yang bermuara pada sopan santun hidup berbudaya.

Nasehat Ali bin Abi Thalib kelihatannya ditujukan kepada pelbagai model kerumunan seperti itu sebagai saran bijak untuk pengendalian diri. Apa yang tertulis nasehat itu ditumpukan pada sikon sesama baik yang suka maupun tidak suka, kondisi "butuh" atau "percaya". Itu berarti selain saran bijak dalam pengendalian diri sebenarnya lebih nyata sebagai saran "menghormati sasama lawan bicara".

Menghormati sesama dalam kerangka sosial baik publik maupun perorangan adalah memberi kebebasan untuk saling memahami dan tidak memaksakan kehendak. Terhadap sesama baik lawan jenis maupun siapa saja tidak asal bilang Aku Suka Kamu dan kau harus suka aku. Kelompok juga jangan berandai dan memberi stigma pada lawan jenis. Sikap seperti itu bisa membuat orang sebagai kurban pembunuhan karakter.

Ada sejarahwan yang mengatakan kebodohan dan kemiskinan orang desa di Jawa itu bodoh dan miskin yang dibudayakan oleh penjajah yang intensip di pulau Jawa Sumatra. Budaya sopan santun Jawa di abadikan dengan stigma sebagai budaya bangsa koeli. Kuli adalah orang suruhan, pelayan bodoh dan miskin.  Itu pembunuhan karakter, demi kelestarian kekuasaan penjajah.  

Dijaman kemerdekaan ada juga sejarawan yang berani menulis budaya dan kebatinan Kejawen di pamerkan oleh sebuah kepemimpinan. Tetapi tetap disertai tindakan kekerasan, manakala kekuasaan terancam. Sementara ada juga kepemimpinan yang rela dicaci, direndahkan dan sabar menanti pencerahan penampakan munculnya lawan-lawan politik serta penegakan hukum, malah dinilai sebagai pelanggaran HAM. Demikian sekedar illustrasi dalam, luas dan rumitnya nuansa perbedaan sehingga susah untuk saling menghargai dan menghormati.

Modal untuk dapat saling menghargai harus melalui upaya saling memahami. Dalam hal ini permasalahan yang "strategis" belajar dan dimulai dari keluarga sendiri. Jangan bergelora bicara kerukunan nasional kalau tidak mampu menciptakan kesejukan dalam keluarga lebih menukik lagi antar pasangan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun