Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kafir, Beragama dengan Sombong

22 Desember 2017   22:55 Diperbarui: 22 Desember 2017   23:20 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agama. Sumber: IPNU.or.id

Setiap kali mendengar atau membaca kata yang satu ini, hati saya miris. Kafir. Miris karena belakangan semakin banyak orang, yang kebetulan seagama dengan saya, menggunakannya secara amat leluasa, bahkan cenderung membabibuta, untuk menyebut orang lain yang tidak seagama. Bahkan, atribut serupa dilabelkan ke mereka yang seagama namun dianggap beda dengan mereka.

Saya sangat tidak sepakat dengan penggunaan kata tersebut untuk menyebut mereka yang tidak seagama dengan saya. Saya lebih memilih menggunakan istilah non-muslim atau umat (agama X). Saya rasa dan saya pikir ini lebih benar dan lebih santun.

Kesantunan dalam berbahasa menurut saya amatlah penting. Apalagi ketika bahasa digunakan saat memperbincangkan agama dan kemasyarakatan. Kesantunan berbahasa bisa berarti tersampaikannya suatu pesan tanpa sakit hati dari mereka yang tidak sepaham dengan pesan keagamaan bersangkutan.

Setiap agama samawi abrahamik memegang klaim kebenarannya sendiri-sendiri. Satu-satunya yang menyatukan mereka adalah klaim kebenaran tersebut disandarkan pada firman Tuhan. 

Konsekuensi klaim kebenaran ini adalah adanya pihak di luar kelompok agama tersebut yang dipandang 'tidak benar'. Semacam logika oposisi biner. Dan ekspresi terkeras untuk menyebut kelompok di luar ini, dalam konteks agama yang saya anut, adalah kafir. 

Sementara, saya memaknai, klaim kebenaran agama, apapun itu, berlaku eksklusif bagi penganut agama bersangkutan. Karena apa, karena tak akan ada yang bisa membuktikan secara rasional sehingga bisa diterima lintas agama, dan karena klaim tadi disandarkan pada firman Tuhan yang hanya bisa dijangkau lewat keyakinan semata. Lewat iman semata. Dan iman, siapa yang bisa memaksakan?

Menyebut umat agama lain sebagai kafir, dalam konteks kemasyarakatan, saya pandang sebagai kesombongan. Lebih-lebih lagi, jika pengucapnya tak mampu menunjukkan dirinya mempunyai kualitas diri lebih baik dari yang ditujunya. 

Saya jadi teringat kisah jatuhnya Iblis dari posisinya sebagai salah satu mahluk kesayangan Tuhan. Kesombongan yang ditunjukkannya lewat penolakan menghormati mahluk lain yang juga ciptaan Tuhan, serta keyakinannya bahwa sosoknya lebih tinggi hanya karena 'beda' secara materiil, membuat semua ibadah dan atribut keistimewaan yang sebelumnya melekat musti ditanggalkannya.

Saya kemudian teringat wejangan tentang Ihsan sebagai salah satu ajaran utama agama yang saya anut. Di mana bersikap lemah lembut, meneladani sikap Nabi, mencoba mengejawantahkan nama Tuhan--tak hanya nama yang maskulin namun juga feminim--menemukan arti pentingnya dalam hubungan keseharian kita, khususnya dengan umat agama lain.

Jika kita masih beragama dengan penuh kesombongan, lalu apa bedanya kita dengan Iblis?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun