Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"We Are What We Eat"

7 Desember 2017   22:46 Diperbarui: 7 Desember 2017   22:58 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Restoran. Sumber: Dokumentasi pribadi

Makan apa Anda hari ini?

Pertanyaan simpel, namun dalam maknanya jika direnungkan. Jika Anda pernah dengar ungkapan di atas, we are what we eat, tentunya Anda bisa menebak apa maksud saya. 

Makanan yang kita santap, tak hanya perkara soal pemenuhan kebutuhan perut semata. Tak cuma soal mengisi tubuh dengan sumber energi. Tak pula sekedar bertahan hidup--setidaknya untuk sebagian besar kita.

Makanan adalah identitas, demikian kata kaum cendekia. Makanan adalah budaya, demikian sebut mereka. Makanan adalah proyeksi diri dan masyarakat penikmatnya, demikian tambahnya.

Laiknya identitas, makanan tak hanya perkara soal enak tidak enak. Tak juga perkara bergizi atau tidak. Lebih-lebih lagi, tak cukup sekedar mengenyangkan atau tidak.

Makanan adalah pernyataan diri. Bahwa saya, Anda, kita, bagian dari suatu kelompok sosial, bagian dari suatu budaya, bagian dari suatu suku atau bangsa. Makanan adalah pembeda antara kita dan mereka.

Namun, di era global semacam sekarang, seberapa makanan masih bisa memenuhi fungsinya yang satu ini? Di mana amat mudah kita temui beragam pilihan tempat makan, mulai dari warung hingga restoran, mulai dari lapak pinggir jalan hingga cafe dan rumah makan, semua dengan ragam makanan yang ditawarkan. Tak hanya lintas daerah, lintas budaya, namun lintas dunia dan lintas peradaban.

Sementara, banyak dari kita, karena terlalu sibuk dengan aktifitas keseharian--atau mengaku terlalu sibuk dengan pekerjaan--melewatkan kesempatan menikmati makanan rumahan, dan memilih jajan di luaran.

Dorongan membeli, dengan alasan kepraktisan, ketidakrepotan memasak dan mencuci bekas masakan, gencarnya promosi, tekanan sosial menjadikan banyak dari kita, dan mungkin anak-anak kita, tak lagi mengenal makanan tradisinya. 

Coba tanyakan ke anak Anda, apa makanan favoritnya? Lebih banyak mana yang menyebut makanan luar ala fast food dibanding makanan tradisional Indonesia?

We are what we eat. Kita adalah apa yang kita makan. Jika kita lebih memilih makan makanan dari budaya dan peradaban lain, maka siapakah kita ini sebenarnya?

Tabik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun