Mohon tunggu...
Assyifa Rahma
Assyifa Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

berenang, vlog

Selanjutnya

Tutup

Politik

keadilan kasus vina cirebon

20 Juni 2025   13:22 Diperbarui: 20 Juni 2025   12:27 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keadilan dalam Kabut: Kasus Vina Cirebon dan Problem Sistem
Hukum Indonesia pada Tahun 2023
Assyifa Rahma (2410833029)
Pada tahun 2023, kasus pembunuhan Vina Cirebon kembali mencuat dan
menjadi sorotan publik setelah hampir delapan tahun berlalu. Vina, seorang remaja
perempuan, bersama pacarnya Eky, ditemukan tewas mengenaskan pada Mei 2016.
Meskipun sebelumnya kasus ini sempat dianggap selesai dengan tertangkapnya tujuh
pelaku, munculnya fakta baru dan viralnya kasus ini di media sosial pada 2023
memunculkan pertanyaan besar: apakah keadilan benar-benar telah ditegakkan?
Kasus ini melibatkan korban utama, Vina dan pacarnya Eky, tujuh pelaku yang
sudah divonis, serta tiga orang yang masih berstatus buron selama bertahun-tahun.
Selain itu, aktor penting lainnya adalah aparat penegak hukum, mulai dari penyidik,
jaksa, hingga hakim, yang mengambil peran dalam proses hukum. Masyarakat luas dan
aktivis HAM pun ikut memberikan tekanan melalui media sosial, menuntut peninjauan
kembali (PK) dan kejelasan proses hukum.
Meski kejadian pembunuhan terjadi pada Mei 2016, kasus ini mencuat kembali
pada pertengahan tahun 2023, seiring dengan ramainya perbincangan di media sosial.
Banyak pengguna media sosial yang merasa ada kejanggalan dan ketidakadilan dalam
proses penanganan kasus tersebut, terutama terkait dengan buronnya tiga tersangka
selama bertahun-tahun tanpa kejelasan.
Kasus ini terjadi di Kota Cirebon, Jawa Barat, sebuah kota yang kini bukan
hanya dikenal karena budaya dan sejarahnya, tetapi juga karena mencuatnya kasus
hukum yang mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana di
Indonesia.
Kasus ini penting karena mencerminkan bagaimana sistem hukum pidana di
Indonesia masih memiliki banyak kelemahan, terutama dalam aspek transparansi,
akuntabilitas, dan penegakan hukum yang tuntas. Buronnya tiga tersangka selama lebih
dari tujuh tahun tanpa hasil konkret menunjukkan kemungkinan lemahnya koordinasi
antar lembaga penegak hukum dan minimnya evaluasi berkala terhadap penanganan
kasus-kasus besar. Kasus ini juga memperlihatkan potensi ketidakadilan dalam proses
peradilan, di mana orang yang tidak bersalah bisa saja terjebak dalam sistem yang
salah.
Kasus Vina membuka luka lama dalam sistem hukum Indonesia yang belum
sepenuhnya pulih: kurangnya evaluasi terhadap kinerja aparat penegak hukum, serta
tidak adanya sistem audit hukum yang independen terhadap proses penyidikan. Meski
KUHAP telah memberikan kerangka hukum untuk menjamin hak-hak tersangka dan
korban, namun implementasinya masih kerap bermasalah.
Dari sisi sejarah hukum, kasus ini mengingatkan kita pada banyak kasus serupa
di masa lalu, seperti kasus Marsinah atau Siyono, yang juga menyoroti lemahnya
perlindungan hukum terhadap korban dan pencari keadilan. Dalam konteks ini, perlu
dikaji ulang efektivitas lembaga pengawas internal Polri dan Kejaksaan, serta urgensi
reformasi sistem peradilan pidana secara menyeluruh, baik dari aspek hukum acara,
sistem pembuktian, hingga pemanfaatan teknologi dalam penelusuran buronan.
Opini Penulis
Kasus Vina Cirebon seharusnya menjadi titik balik untuk mengevaluasi
komitmen negara dalam menegakkan keadilan substantif, bukan sekadar prosedural.
Hukum seharusnya tidak hanya hadir sebagai alat kekuasaan, tetapi juga sebagai
pelindung hak-hak warga negara. Ketika sistem hukum tidak mampu memberikan
keadilan bagi korban dan masyarakat, maka kepercayaan publik akan semakin tergerus.
Jika pemerintah tidak segera membenahi sistem hukum --- dari reformasi
kelembagaan hingga penguatan sistem pengawasan --- maka kasus serupa hanya akan
menjadi catatan kelam berikutnya dalam sejarah hukum Indonesia.
Kesimpulan dari pembahasan mengenai kasus Vina Cirebon dalam konteks
sistem hukum Indonesia menunjukkan betapa kompleks dan berlapisnya permasalahan
penegakan hukum di negeri ini. Kasus yang bermula pada tahun 2016 dan kembali
mencuat pada tahun 2023 bukan hanya membuka kembali luka lama keluarga korban,
tetapi juga menyulut keprihatinan publik terhadap bagaimana hukum bekerja dalam
praktiknya di lapangan. Dalam sistem hukum ideal, asas keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan seharusnya menjadi landasan utama. Namun dalam realitas, prinsip-
prinsip ini sering kali mengalami benturan dengan berbagai kepentingan, keterbatasan
sumber daya, hingga ketidakkonsistenan dalam penegakan hukum itu sendiri.
Kasus Vina memperlihatkan bahwa ketika aparat penegak hukum gagal
menangkap tiga tersangka yang disebut-sebut sebagai pelaku utama selama bertahun-
tahun, maka hal ini bukan hanya soal ketidakmampuan operasional, tetapi menjadi
cerminan dari lemahnya sistem akuntabilitas dalam institusi penegak hukum. Publik
tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang mengapa buronan tidak kunjung
ditemukan, apa langkah-langkah yang telah diambil selama bertahun-tahun, dan siapa
yang bertanggung jawab atas kelambanan tersebut. Ketika institusi seperti kepolisian
tidak mampu menjelaskan proses tersebut secara transparan, maka kepercayaan
masyarakat terhadap hukum akan terus tergerus.
Di sisi lain, proses peradilan yang telah berlangsung terhadap tujuh pelaku
sebelumnya juga memunculkan tanda tanya besar, apakah proses tersebut benar-benar
sudah sesuai dengan asas keadilan? Apakah semua bukti telah diverifikasi secara
menyeluruh? Apakah ada kemungkinan korban salah tangkap? Apakah proses
pembuktian di pengadilan sudah cukup kuat dan obyektif? Ketika publik tidak
mendapatkan akses yang memadai terhadap informasi hukum, maka spekulasi dan
ketidakpercayaan akan mudah berkembang. Dalam masyarakat yang semakin sadar
hukum, sistem peradilan tidak lagi cukup hanya menyatakan "telah memutus perkara",
tetapi juga harus mampu menjelaskan secara terbuka dasar pertimbangannya agar dapat
diterima oleh publik sebagai suatu bentuk keadilan yang substantif.
Selanjutnya, kasus ini juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan dan
evaluasi dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Tidak adanya sistem pemantauan
terhadap perkembangan kasus yang belum tuntas secara berkala menyebabkan banyak
kasus "menguap" begitu saja dan hanya akan dibuka kembali ketika ada tekanan dari
masyarakat. Padahal, negara seharusnya memiliki sistem informasi yang terintegrasi
untuk memantau secara berkala status kasus-kasus besar yang berdampak luas,
termasuk keberadaan buronan. Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum
seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan juga turut memperparah situasi ini.
Dari perspektif sejarah hukum, kasus seperti ini bukan pertama kalinya terjadi.
Indonesia memiliki catatan panjang mengenai penanganan kasus yang tidak tuntas,
baik dalam konteks hukum pidana umum, pidana khusus, maupun kasus-kasus
pelanggaran HAM berat. Banyak dari kasus tersebut mengalami stagnasi, atau bahkan
hilang dari sorotan karena lemahnya tekanan institusional dan politik. Hal ini
menunjukkan bahwa reformasi hukum yang selama ini digaungkan belum menyentuh
akar masalah yang sesungguhnya, yaitu integritas dan transparansi sistem hukum itu
sendiri. Perubahan regulasi tanpa diiringi perbaikan kultur hukum dan kualitas SDM
hukum hanya akan menghasilkan sistem yang tetap tidak efektif dalam menegakkan
keadilan.
Kemunculan kembali kasus Vina melalui media sosial juga memberikan
pelajaran penting bahwa peran masyarakat sipil dalam penegakan hukum tidak dapat
lagi diabaikan. Media sosial telah menjadi kekuatan baru yang mampu mendorong
negara untuk kembali memproses suatu perkara yang sempat dianggap "selesai". Ini
menunjukkan bahwa partisipasi publik dan kontrol sosial dari masyarakat luas dapat
menjadi pendorong utama perubahan dalam sistem hukum. Namun di sisi lain, negara
juga harus berhati-hati terhadap trial by social media yang bisa mengaburkan fakta dan
merugikan pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, negara perlu segera mengembangkan
sistem komunikasi hukum yang lebih terbuka, akurat, dan responsif terhadap tuntutan
keadilan masyarakat.
Aspek penting lainnya yang patut disorot dari kasus ini adalah perlunya
penguatan prinsip due process of law atau proses hukum yang adil dan layak. Dalam
banyak kasus di Indonesia, terutama yang melibatkan tekanan publik, aparat penegak
hukum kerap kali tergesa-gesa menetapkan tersangka atau membangun konstruksi
perkara tanpa memperhatikan hak-hak hukum yang dimiliki oleh setiap individu. Jika
ini terus dibiarkan, maka tidak hanya korban yang kehilangan keadilan, tetapi juga
tersangka yang bisa saja tidak bersalah pun akan menjadi korban dari sistem yang tidak
berpihak pada kebenaran. Oleh karena itu, sistem hukum Indonesia harus
menyeimbangkan antara kecepatan dalam penanganan kasus dan kehati-hatian dalam
menjaga integritas proses hukum.
Dalam jangka panjang, kasus seperti ini semestinya menjadi momentum untuk
mempercepat reformasi sistem hukum pidana secara menyeluruh. Indonesia
memerlukan sistem pengawasan independen terhadap aparat penegak hukum yang
tidak berada di bawah struktur kepolisian atau kejaksaan, tetapi langsung bertanggung
jawab kepada publik melalui lembaga legislatif. Selain itu, penguatan peran Komisi
Yudisial, Ombudsman, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi
sangat penting dalam memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam proses
hukum dapat dilindungi dan diawasi secara adil.
Lebih dari sekadar penyelesaian kasus, yang dibutuhkan masyarakat Indonesia
saat ini adalah jaminan bahwa hukum benar-benar hadir sebagai alat perlindungan hak
asasi manusia. Dalam konteks demokrasi yang sehat, hukum harus bisa diandalkan
sebagai ruang di mana setiap warga negara --- tanpa terkecuali --- dapat memperoleh
keadilan, tidak peduli status sosial, kekuasaan, atau kekayaan. Kasus Vina tidak boleh
menjadi satu dari sekian kasus yang hanya viral sesaat, tetapi harus menjadi titik tolak
untuk membangun sistem hukum yang lebih transparan, adil, dan berpihak pada rakyat.
Dengan melihat segala aspek yang muncul dalam kasus ini --- dari penanganan
awal, proses penyidikan, pelarian buronan, hingga reaksi publik di media sosial --- kita
dapat menarik kesimpulan bahwa reformasi hukum bukan lagi sekadar kebutuhan,
tetapi sebuah urgensi. Hukum harus dibangun bukan atas dasar kekuasaan, melainkan
atas dasar kepercayaan. Dan kepercayaan itu hanya bisa tumbuh jika hukum benar-
benar ditegakkan dengan konsisten, terbuka, dan berlandaskan pada nilai-nilai keadilan
yang sesungguhnya. Sebab tanpa keadilan, hukum hanyalah rangkaian aturan yang
kehilangan maknanya.
Sebagai penutup, kasus hukum yang terjadi di Indonesia, seperti yang telah
dibahas dalam artikel ini, menunjukkan pentingnya peran sistem hukum yang tidak
hanya berbicara tentang proses formal, tetapi juga tentang substansi keadilan yang
dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Penegakan hukum harus selalu dilakukan
dengan penuh hati-hati dan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang adil, sehingga setiap
individu yang terlibat dalam sistem hukum dapat merasakan keadilan yang sejati.
Dalam hal ini, kecepatan proses hukum harus diimbangi dengan akurasi dan
transparansi agar masyarakat percaya pada sistem yang ada dan memastikan tidak ada
ruang bagi ketidakadilan atau penyelewengan dalam pelaksanaan hukum.
Reformasi sistem hukum di Indonesia perlu terus dilakukan untuk menjawab
tantangan yang semakin kompleks. Peningkatan kualitas aparatur penegak hukum,
penguatan kelembagaan, dan transparansi dalam setiap langkah proses hukum
sangatlah penting untuk mencapai tujuan dari penegakan hukum itu sendiri:
memberikan perlindungan hak asasi manusia, keadilan yang merata, dan kepastian
hukum. Dengan begitu, di masa mendatang, sistem hukum Indonesia akan semakin
profesional, mampu merespons dinamika sosial dengan tepat, dan menghasilkan
keputusan-keputusan yang benar-benar memberikan rasa aman dan adil bagi seluruh
masyarakat.
Referensi :
Nugroho, D. S. (2022). Efektivitas Implementasi Sistem Hukum Pidana dalam
Menangani Kasus Kekerasan terhadap Anak di Indonesia. Jurnal Hukum dan
Pembangunan, 20(3), 45--58.
Widodo, A. P., & Kurniawan, R. (2021). Penegakan Hukum terhadap Kejahatan
Lingkungan: Perspektif Perundang-undangan dan Praktik Pengadilan di
Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum dan Perundang-undangan, 18(2), 101--115.
Anggraini, D. (2021). Problematika Penegakan Hukum dalam Kasus Korupsi di
Indonesia. Jurnal Etika Hukum, 11(4), 210--220.
Putra, M. S., & Safitri, L. (2020). Dinamika Hukum Pidana dalam Kasus Tindak Pidana
Terorisme di Indonesia. Jurnal Hukum dan Keamanan, 14(1), 57--68.
Rachmawati, E. (2023). Pengaruh Sistem Peradilan Pidana Terhadap Perilaku
Koruptor di Indonesia. Jurnal Hukum dan Sosial Politik, 16(2), 135--148.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun