Jakarta, Kompasiana.com-Bhineka tunggal ika merupakan semboyan kita dalam berbangsa dan bernegara, hal itu tak terlepas dari usaha dan pengorbananan para pendiri bangsa demi terbentuknya persatuan dan kesatuan serta hidup aman damai dan sejahtera di negara yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke yang memiliki ratusan suku dan budaya.
Perbedaan bahasa dan budaya itu juga merupakan sebuah representasi Indonesia dimata dunia karena meskipun berbeda namun tetap bisa hidup berdampingan, harmonis dan penuh dengan rasa kekeluargaan yang menyelimuti seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Hal itu juga yang membuat negara-negara barat terpesona dengan keunikan Indonesia sampai-sampai mereka meneliti beberapa keunikan bangsa Indonesia, tak berhenti sampai meneliti mereka bahkan tinggal dan mempunyai keturunan, sebut saja misalnya Christiaan  Snouck Hurgronje, Martin Van Bruenessen, Raffles dan lain sebagainya, mereka para peneliti barat yang sukses.
Namun dari fakta yang penulis uraikan tersebut berbanding terbalik dengan fenomena yang terjadi di akhir-akhir ini, pergulatan, pertikaian, hasutan saling caci mencaci, saling cemooh antara sebangsa dan setanah air dan juga peminjaman kata antara Cebong dan Kampret sampai saat ini gencar dilakukan.Â
Fakta ini bukan saja hanya dilakukan oleh kalangan bawah atau mohon maaf penulis sebutkan "kalangan tongkrongan warung atau tongkrongan pangkalan saja", melainkan para cendikiawan, para wisudawan bahkan para ulamapun ikut terlibat dalam sebuah pergulatan yang mengundang perpecahan.
Fakta sosial yang penulis sebutkan tersebut, mungkin saja sebab akibat dari pertarungan politik atau pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, akan tetapi apakah dengan cara seperti ini kita bisa maju?, apakah dengan sikap saling mencaci ini kita akan menjadi bangsa besar?Â
Apakah dengan saling menghina saudara sebangsa dan setanah air ini kita akan menjadi negara yang bermartabat?, tentu jawabannya 'Tidak', Penulis sangat yaqin semua lapisan masyarakat pasti menginginkan bangsa kita menjadi bangsa yang besar, bangsa yang disegani dalam segi pertahanan dan keamanan, sukses dalam ekonomi dan sejahtera dalam bersosial dan bermasyarakat.
Oleh sebab itu, marilah kita tundukkan egosentris atau rasa kerakusan, yang ada dalam diri masing-masing individu setiap bangsa Indonesia, sehingga tidak lagi kita diperkosa oleh kepentingan sesaat, mari kita merenungkan bersama betapa susahnya para pendiri bangsa dalam memerdekakan dan mempersatukan kita, mari kita bersatu padu untuk menyongsong warisan kemerdekaan nenek moyang kita, pilihan politik itu boleh saja karena itu adalah hak sebagai warga negara, namun berpolitiklah dengan akhlak tanpa kebencian, dan hasutan.
Terakhir penulis sampaikan bahwa pelangi itu indah dilihat karena corak warnanya yang berbeda, begitu juga halnya dengan kita sebagai bangsa Indonesia, karena perbedaan itulah yang membuat kita menjadi luar biasa dan Indah.
(Asroni Al-Paroya, Mahasiswa Pasca Sarjana Unusia Jakarta)