Mohon tunggu...
Asra Sinta
Asra Sinta Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca dan penulis yang sedang belajar

Satu gagasan yang kubaca menambah satu temanku, satu gagasan yang kutulis menambah sejam usiaku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Detox Hati dengan Pemutihan Piutang

12 Agustus 2020   22:12 Diperbarui: 13 Agustus 2020   06:32 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membicarakan utang semua orang, perusahaan perorangan ataupun group bahkan negara pasti pernah melakukan transaksi utang piutang. Disini saya tidak akan membahas tentang utang piutang perusahaan besar, tapi utang piutang dalam kehidupan anak anak muda seperti saya. Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman di era milenial ini sepertinya anak-anak muda sudah akrab dengan utang piutang terhadap sesamanya sesuai tingkat kebutuhan masing masing. Orang kaya pasti akan berutang kepada orang kaya, dan orang golongan menengah kebawah bisa saja berutang kepada orang kaya ataupun kepada orang yang memiliki kemampuan finansial yang sama. Tentunya kita sudah banyak tahu tentang kasus ini ketika mau berutang teman datang dengan menyembah, atau kalau tidak menerima pinjaman kita malah jadi musuh, dan lagi ketika kita meminta piutang kita kepada teman bisa saja orang yang berutang malah lebih galak dengan kita. Hal-hal seperti ini sudah tidak mengejutkan lagi. Entah itu karna memang sedang tidak mampu membayar kewajiban, atau juga memang sengaja tidak mau bayar.

Saya tipe orang yang takut sekali berutang, mungkin ini penyebabnya saya tidak bisa masuk group pebisnis muda, karna saya tak berani mengambil pinjaman untuk modal usaha, saya lebih menikmati gaji pokok bulanan yang sudah pasti dan mengelolanya secukup mungkin. Kalaupun saya mau berutang saya sudah pastikan kapan jatuh tempo dan darimana sumber dana untuk membayar utang tersebut, sebagai anak perantau saya lebih memilih meminta kiriman orangtua walaupun jumlahnya pasti sangat terbatas tidak lebih dari cukup saat saat kondisi finansial saya benar benar defisit, ketimbang saya harus berutang kepada teman yang akan berujung musuh jika saya tak bisa bayar jatuh tempo. Sebelum teman saya meminta saya pastikan saya sudah ada informasi lebih dahulu sanggup atau tidak membayar kalau tidak saya minta waktu tenggang lagi, intinya saya sangat sadar akan kewajiban untuk melunasi utang. Karna itu saya menganggap orang yang berutang kepada saya memiliki kesadaran yang sama sehingga saya tidak perlu meminta mereka melunasi utangnya kepada saya.

Pengalaman saya ini sedikit tragis kalau dipikir-pikir. Diakhir tahun 2019 lalu seorang teman saya meminjam uang memang tidak banyak cukup buat sekali makan dan nonkrong di restoran. Padahal kondisi keuangan saya saat itu juga belum bisa dikatakan cukup, maklum saat itu saya masih bekerja disebuah perusahaan yang kurang sehat sehingga belum mampu membayar full gaji saya sesuai standar ketenagakerjaan , di atm saya tersisa cukup buat biaya makan sebulan dan biaya transport. Setengah dari uang makan sebulan saya pinjamkan pada teman yang mengiba, saya pikir saya bisa menghemat dengan masak nasi telur tiap hari cukup kok. Beberapa jam kemudian saya melihat sosmed story teman saya sedang makan dengan gengnya di salah satu restoran yang cukup familiar di kalangan anak muda, yahh setengah uang makan saya sebulan cukuplah buat menikmati mewahnya hidangan disana. Saya mencoba berpikir positif kali saja dia ditraktir temannya.

Kedua,beberapa teman saya yang lain habis di rumahkan tanpa gaji karna dampak co19 minta pinjam uang untuk bayar kosan dan keperluan lainya, lagi lagi saya mengorbankan setengah biaya makan dan transport sebulan saya demi biaya kosan nya. Tuhan itu memang sangat baik, untuk setiap buli buli yang tertumpah Dia isi kembali dengan penuh. Saya mendapat panggilan disebuah perusahaan yang lebih sehatlah dibanding perusahaan sebelumnya, selain gajinya bertambah lelahnya juga cukup memuaskan. Dengan hati yang rela sedikit dari gaji pertama saya pinjamkan lagi tanpa diminta karna saya tahu mereka pasti butuh. Saya bersyukur di masa PSBB ketat tiga bulan yang lalu benar benar saya manfaatkan untuk istirahat total saat libur, karna pekerjaan baru saya sangat menguras tenaga dan konsentrasi. Teman saya menghujat saya dengan sebutan semakin sombong dengan pekerjaan baru jadi jarang ngajak main bareng, padahal sudah jelas-jelas kita sedang mentaati aturan pemerintah demi mencegah penularan covid19, dan itu juga jadi kesempatan bagi saya untuk memanfaatkan waktu istirahat dengan baik, dan mengurangi biaaya pengeluaran untuk mengendalikan keuangan yang sempat defisit. Di masa AKB ini mereka sudah mulai kerja dengan normal, walau demikian saya mengerti kondisi keuangan mereka belum secukupnya sehat untuk mendahulukan utang, tapi hal yang mengesalkan bagi saya, tingkah mereka layaknya tidak seperti orang yang sedang dililit utang. Entah itu sekedar melepas stres karna terlalu lama dirumahkan jadi seperti singa lepas kandang, shopping sana sini,nge mall , nonkrong di cafe, main sana sini, saya terkadang malu dengan postingan yang mereka pamerkan di sosmed ia itu makanan mewah, tas branded, mengunjungi spot-spot poto yang sedang ngehits. Saya sangat memaklumi balas dendam mereka dengan keadaan yang selama PSBB ketat memenjarakan habitat mereka, tapi saya tidak munafik saya sangat dongkol melihat sikap mereka seolah lupa kewajibannya apalagi ditambah dengan caption poto unggahan mereka seolah menyindir saya yang sangat pelit terhadap diri sendiri.

Pesan terbaik yang saya ingat dari Bapak saya adalah seorang pemurah tidak pernah mengingat kebaikan yang ia berikan sekalipun itu materi, seperti Tuhan memberi kamu juga harus memberi tanpa menutut kembali, dunia mengajarkan mata ganti mata, uang ganti uang, utang harus dibayar, tapi sebagai anak muda yang takut akan Tuhan harus memiliki kerelaan tanpa syarat, jika temanmu minta bajumu, beri jugalah jubahmu. Saya sangat menyadari bahwa kemurahan Tuhan melimpah bagi saya disaat orang mengartikan PSBB sebagai pemasukan stop beban bertambah, saya malah mengartikannya sebagai pendapatan surplus beban berkurang, saya menyadari bahwa piutang yang saya miliki tidak seberapa dengan upah lembur yang saya terima tiap bulannya. Saya menganggap utang mereka sudah dibayar Tuhan dengan upah lebur saya, hati saya lebih berharga dari sebuah kepahitan mengingat piutang. Akhirnya saya mengajak mereka makan bersama merayakan AKB, saya traktir sampai puas, dengan muka yang malu mereka berjanji bayar utang, dengan anggun saya menolak, nanti saja kalau penghasilan bulanannya sudah tersisa untuk ditabung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun