Mohon tunggu...
Asmara Hadi
Asmara Hadi Mohon Tunggu... lainnya -

guru (tanpa huruf kapital) yang berusaha menulis tentang kegelisahan jiwanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Down Syndrom dan Kita

20 Januari 2011   14:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:21 1329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Down Syndrom mungkin jarang diketahui oleh sebagai besar masyarakat kita sebagai penderita cacat mental. Secara literal Down Syndrom adalah suatu kumpulan gejala akibat dari abnormalitas kromosom, biasanya kromosom 21, yang tidak berhasil memisahkan diri selama meiosis sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom. Sindrom ini pertama kali diuraikan oleh Langdon Down pada tahun 1866.

Down Syndrom merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia. Diperkirakan 20% anak dengan down syndrom dilahirkan oleh ibu yang berusia di atas 35 tahun. Syndrom down merupakan cacat bawaan yang disebabkan oleh adanya kelebihan kromosom x. Syndrom ini juga disebut Trisomy 21, karena 3 dari 21 kromosom menggantikan yang normal. 95% kasus syndrom down disebabkan oleh kelebihan kromosom.Salah satu penyebab keterbelakangan mental (down syndrome) pada anak adalah gangguan neurotransmitter yang disebut norepinephrine. Bila gangguan ini bisa diperbaiki, besar harapan anak down syndrome untuk memiliki kecerdasan seperti anak normal.

Down syndrome termasuk golongan penyakit genetik, namun bukan penyakit keturunan. Disebut sebagai penyakit genetik karena cacat penyakit ini terdapat pada materi genetik. Tubuh manusia terdapat sel-sel, dalam sel terdapat sel inti, yang di dalamnya terdapat kromosom. Pada orang normal, kromosom berjumlah 46. Sedangkan pada penderita down syndrome berjumlah 47 kromosom.

Pada zaman dahulu seseorang yang memiliki defisensi mental (mental retardasi) tidak diperhatikan hak-hak azasinya dan dibiarkan terlantar tanpa ada pengasuhan untuknya. Tentu saja keadaan yang sedemikian ini juga disertai dengan sumpah serapah, bukannya dengan kasih sayang, karena kondisi lahirnya seorang anak yang tidak pernah diharpkan seperti itu.

Malah pada bangsa Spartan dahulu kala, penderita mental retardasi dibuang ketempat yang jauh dari jamahan manusia, dan mereka ditinggalkan begitu rupa. Barulah kemudian disadari, bahwa keadaan tersebut bukanlah yang seperti itu, Artinya mereka itu bukanlah lahir sebagai kutukan.

Dan lucunya, pada abad pertengahan, kurang lebih sekitar abad kesepuluh dan kedua belas penderita mental retardasi disamakan dengan penderita sakit jiwa, dan karena itu, sikap yang diberikan adalah pengasingan dan pengusiran.

Di Perancis, pada abad ke 15 dan ke 16, mulai ada perhatian terhadap penderita mental retardasi, mereka mulai mendapatkan perawatan secara khusus. Mulai dikenal adanya perhatian serta perawatan yang diberikan kepada penderita mental retardasi, dimulai pendekatan ilmiah, setelah sebuah diskusi panjang berdasarkan tulisan dari Marie Gaspard, yang berjudul Savage ofAveryon, yaitu cerita tentang seorang anak laki-laki yang berusia 12 tahun,karena ditinggalkan oleh orang tuanya dihutan, sebagai anak yang mengalami mental retardasi, ditinggalkan oleh orang tuanya. Anak tersebut karena ditinggal dihutan, menyebabkan dia tidak berpendidikan, dan menjadi seorang mental retardasidalam taraf idiot. Anak tersebut kemudian setelah diketemukan hidup dalam hutan, akhirnya dicoba untuk dikembangkan, yaitu dengan melakukan pelatihan, namun anak tersebut tetap berada dalam keadaan idiot. hal ini lebih bersebab karena lamanya dia dalam pengasuhan binatang dan bukan oleh manusia selama didalam hutan.

Murid dari gaspard, yaitu Eduard Seguin, mencurahkan hidupnya dalam mengasuh anak-anak yang menderita mental retardasi, yaitu dengan melatih dan mendidik mereka yaitu dalam pelatihan motor-sensoris.Pada akhirnya peneltian tersebut berkembang dan diarah untuk tes intelegensi seseorang

Lalu bagaimana masyarakat kita melihat mereka (penderita down sydrom)? sebagian besar masyarakat kita masih mengangap mereka sebagai bagian yang harus dipisahkan dari kehidupan normal, bahkan tidak jarang kita (orang-orang yang mengangap diri normal) mencibir atau menghina keberadaan mereka dan mungkin tidak segan-segan memanfaatkan untuk mencari recehan rupiah. Mungkin sikap masyarakat kita memang tidak sekeji bangsa Spartan tetapi sikap masyarakat kita yang cenderung diam terhadap segala hal dan masih belum mampunya menerima sebuah perbedaan, dalam hal ini mereka penderita down syndrom.

Kita mungkin akan lebih menerima dan duduk berdampingan dengan koruptor atau pemerkosa daripada mereka yang menderita down syndrom, ada kesan yang muncul dimasyarakat kita bahwa down syndrom adalah sesuatu yang menjijikan dan jadi bahan lelucon hanya karena mereka berbeda. Kita mungkin kenal dengan sosok Hee Ah Lee seseorang pianis yang terlahir dari ketidaksempurnaan, asal Korea yang terlahir cacat fisik dan mental (menderita down syndrome). Orang pasti akan kasihan melihat sosok wanita kelahiran Korea 25 tahun lalu ini. Hee Ah Lee merupakan penderita down syndrome, dan dengan kedua tangan yang hanya memiliki empat jari. Kelainan jemari tangan seperti ini disebut lobster claw syndrome, berbentuk seperti capit udang, tanpa telapak tangan.Dia juga terlahir dengan kaki hanya sebatas lutut hingga tidak dapat menginjak pedal piano standar. Namun dibalik ketidaksempurnaan tersebut terlahir not-not yang berbaris manis menghentak dan menyentak segenap mata yang memandang takjub. Nada-nada sulit musik klasik karya komponis kenamaan seperti Chopin, Beethoven, Mozart.

Banyak Hee Ah Lee di sekitar kita yang dengan atau tanpa sadar kita singkirkan, saatnya alam pikiran kita terbuka dan menerima keberadaan mereka dengan ketulusan bukn dengan rasa kasihan karena mereka dan kita adalah sama. Mereka pun ingin diperlakukan sama dan mendapatkan hak-haknya baik yang diatur dalam konstitusi negara ini UUD 1945 khususnya pasal 31 ayat (1) yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat pengajaran, Deklarasi HAM PBB 1948, Konvensi Hak Anak 1989, The Salamanca Statement on Inclusive Education (1994), Life Long Education and Education for All (1995), Dakar Statement (2000), UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hingga Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol 2007.

Jika Aristoteles pernah berkata manusia adalah makhluk sosial (zoon politikon) dan makhluk rasional (animal rationale) tetapi sayang mungkin aristoteles lupa menambah satu hal yaitu manusia adalah mahluk yang sangat indah, apa pun dan bagaimana pun seorang manusia tetap indah. Salah satu yang mungkin tiak dapat kita lepaskan adalah seni atau estetika, kenapa manusia membutuhkan seni atau estetika? karena Tuhan menciptakan manusia tidak hanya sempurna dibanding mahluk lainnya tapi manusia diciptakan sebagai sebuah keindahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun