[caption caption="Foto Ilustrasi | Rachel Johnson/Flickr"][/caption]Sebuah tulisan adalah cermin dari perilaku penulisnya sendiri. Mungkin sebagian penulis itu piawai merangkai kata yang indah, menyentuh hati, dan berbagai kata bijak di dalamnya.
Ya, penulis itu bisa bijak dalam tulisannya. Tapi, penulis itu sendiri kadang tak bijak untuk saling berkomentar, saat tulisannya dikritik pembaca, dan para penulis lainnya.
Nah, penulis media online ini, seperti bloger, penulis konten di website, atau hanya sekadar menulis di media sosialnya sendiri.
Hakikatnya menulis adalah menerangkan. Secara umum maksudnya adalah untuk membuka pengetahuan bagi yang membacanya. Jika seorang penulis itu bisa menerangkan sesuatu dengan baik dalam ulasannya. Bisa dibilang ia berhasil mencerdaskan pembaca.
Fakta di lapangan, ternyata sebagian penulis di blog, tidak sesuai apa yang ia tulis selama ini. Biasanya bloger yang demikian gigih sekali mengulas permasalahan yang memicu emosi pembaca.
Misalnya bloger yang mengulas politik.
Perpolitikan di seluruh dunia memang selalu menjadi topik hangat. Sama halnya dengan Indonesia. Terutama mengenai persaingan kekuasaan. Maka tak heranlah, setiap partai memiliki punggawa menulis yang bisa membentuk opini pembaca, opini rakyat Indonesia.
Kita bisa melihat kenyataan ini di blog umum milik media-media besar Indonesia. Saksikanlah artikel-artikelnya, dan lihat pula komentar berantai di bawahnya. Waw, terkadang bisa bikin geleng-geleng kepala.
Pantaskah seorang bloger yang menjunjung tinggi idolanya (pemimpin yang dibela) yang isi artikelnya tentang “kesucian” sang idola, tapi saat ia berkomentar, keluar kata-kata tak terpuji?
Adilkah seorang bloger yang menulis judul dan isi tulisan di artikelnya, satu tokoh dipuji, dan satu tokoh lagi dimaki?
Inikan benar-benar tidak pantas. Ya, walaupun itu adalah kemerdekaannya sebagai seorang bloger dalam setiap tulisannya.