Mohon tunggu...
Aslamuddin Lasawedy
Aslamuddin Lasawedy Mohon Tunggu... Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik

Open minded and easy going

Selanjutnya

Tutup

Financial

Wakaf Uang Itu Ibarat Mata Air yang Tak Pernah Kering

2 Oktober 2025   04:07 Diperbarui: 2 Oktober 2025   04:07 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Aslamuddin Lasawedy

Oleh :
Aslamuddin Lasawedy
Perencana Keuangan Independen

MUHDAR selalu resah ketika memikirkan hartanya. Ia paham, sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin, bahwa harta bisa menjadi pelayan yang menolong atau menjadi tuan yang memperbudak.

Suatu malam, Muhdar membaca tulisan tentang sejarah wakaf. Ia menemukan bahwa Imam al-Zuhri (w. 742 M), seorang ulama tabi'in, pernah menganjurkan wakaf dinar dan dirham untuk dikelola secara produktif. Hasilnya disalurkan bagi kepentingan umat (Kahf, 1998). Seiring waktu, di masa Kesultanan Utsmani abad ke-16, praktik "cash waqf" berkembang luas. Dana wakaf uang ini, diputar melalui mekanisme "qard hasan," atau pembiayaan kebajikan. Lalu hasilnya dipakai untuk membiayai madrasah, rumah sakit, hingga pemeliharaan infrastruktur publik (Cizaka, 2004).

Muhdar merenung panjang. Ia menulis di catatan kecilnya: "Uang adalah air. Jika ditimbun, ia menjadi rawa yang busuk. Jika dihamburkan, ia hilang di pasir. Tetapi bila dialirkan ke waduk wakaf, ia menjadi sungai kehidupan: mengairi ladang ilmu, kebun sosial, dan sawah kesehatan."

Keesokan harinya, Muhdar menyerahkan sebagian tabungannya ke lembaga wakaf uang yang dikelola profesional sesuai Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 di Indonesia. Ia belajar, bahwa wakaf uang tidak berarti uang itu berhenti berputar. Justru ia diputar dalam instrumen investasi syariah, dari sukuk negara hingga pembiayaan UMKM, dan hasilnya mengalir bagi kemaslahatan umat.

Waktu terus berputar
Sekian tahun  telah berlalu. 

Dari dana wakaf yang Muhdar sisihkan, berdirilah klinik untuk kaum dhuafa, beasiswa pendidikan, hingga modal bergulir bagi pedagang kecil. Nama Muhdar tidak tertera di papan-papan proyek. Namuni ia tahu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadis riwayat Muslim, "Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya."

Muhdar tersenyum lirih. Ia tahu, ia sedang menanam mata air yang tidak pernah kering. Uang yang ia lepaskan tidak lenyap. Uang itu berreinkarnasi menjadi cahaya pengetahuan, energi kesehatan, dan denyut ekonomi rakyat kecil.

Dalam doa yang ia panjatkan di sepertiga malam, Muhdar berbisik pelan, "Beginilah ilmu ekonomi berpadu dengan filsafat hidup. Inflasi bisa menggerus nilai uang, tetapi wakaf uang menukarnya dengan nilai abadi. Di sinilah logika bertemu metafisika. Angka berubah menjadi doa, dan harta berubah menjadi keabadian."(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun