Oleh :
Aslamuddin Lasawedy
Mantan Pimpinan Perusahaan Koran Slank
SUATU malam, di sebuah panggung kecil di Yogyakarta, Iwan Fals pernah bercanda getir: "Kalau dihitung, mungkin saya lebih sering dengar lagu saya di warung kopi daripada menerima uangnya." Gelak tawa penonton pecah. Namun dibalik gelak tawa itu, semua paham, ada luka menganga tentang tata kelola royalti musik di Indonesia yang sungguh sangat menyedihkan.Â
Kisah itu bukan milik Iwan Fals seorang. Bimbo misalnya, pernah mengeluh bahwa lagu-lagu rohani mereka, yang diputar setiap Ramadan, royaltinya jarang sampai  ke tangan mereka. Begitu juga Glenn Fredly semasa hidupnya, yang tak lelah bersuara soal ketidakadilan sistem royalti musik di Indonesia. Di sisi lain, ribuan musisi jalanan hingga pencipta lagu indie hanya bisa pasrah. Lagu mereka diputar di banyak tempat, namun uang royaltinya tersangkut entah di mana.
Royalti musik di negeri ini seperti air hujan yang turun deras, yang tersangkut di atap bocor. Ada yang menetes. Ada yang menguap dan menghilang entah kemana. Ada yang menggenang di tempat yang bukan semestinya. Alas hukum soal royalti memang sudah ada. Lembaga pemungut royalti juga sudah berdiri. Namun tetap saja aliran royaltinya kusut. Masalahnya masih seputar siapa yang berhak menerima royalti ? Siapa yang harus membayar ? dan ke mana semua royalti itu mengalir?Â
Secara faktual, beragam negara telah lama mengatur mekanisme penyaluran royalti ini  melalui "collective management organization" (CMO). Di Jepang, JASRAC bekerja bak jam Swiss. Setiap lagu yang diputar di radio atau kafe, tercatat rapi, dan royaltinya sampai ke pencipta. Di Amerika, ASCAP dan BMI punya sistem digital yang melacak pemutaran musik hampir di setiap sudut kota. Sementara di Indonesia, masalah royalti musik ibarat orkestra tanpa dirigen. Semua instrumen bersuara sendiri. Keras, ricuh, dan saling bertabrakan.
Lalu muncul sebuah harapan baru di Agustus 2025, sebut saja namanya Protokol Jakarta. Sebuah Protokol yang diprakarsai oleh Kementerian Hukum (Kemenkum), untuk menyusun sebuah protokol internasional yang mengatur pengelolaan royalti melalui platform digital internasional yang diusulkan untuk disepakati pada acara World Intellectual Property Organization (WIPO). Protokol ini dimaksudkan untuk menyederhanakan pungutan dan distribusi royalti bagi pemegang hak cipta di platform global. Penyusunannya melibatkan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah terkait sebelum diajukan ke forum internasional seperti WIPO. Tujuan Utama Protokol Jakarta ini tidak lain untuk melakukan penyederhanaan pengelolaan royalti. Membuat proses pungutan dan distribusi royalti dari platform digital internasional menjadi lebih mudah dan transparan. Usulan Protokol Jakarta ini akan disampaikan ke WIPO dalam forum seperti Standing Committee on Copyright and Related Rights (SCCR) di Jenewa pada Desember 2025.Â
Protokol Jakarta ini bisa diumpamakan seperti seorang konduktor yang baru naik ke panggung, mengangkat tongkatnya, dan mencoba menyatukan nada yang tercerai-berai. Ia menjanjikan mekanisme pengelolaan satu pintu, satu data, dan satu platform digital secara nasional maupun internasional. Semua lagu yang diputar, dari televisi hingga kafe kecil di pojok kota, akan tercatat. Semua pencipta, dari maestro terkenal hingga musisi indie, akan punya kesempatan mendapat bagian yang adil.
Protokol Jakarta ibarat cermin yang hendak membersihkan kabut. Ia menuntut metadata yang standar, keterhubungan dengan platform digital, serta sistem pembagian yang transparan. Jika benar terwujud, ia bisa menjadi "kompas moral" yang membawa musik Indonesia ke peradaban baru. Sebuah peradaban yang tidak lagi abu-abu, di mana pencipta lagu hanya jadi legenda yang miskin, sementara lagunya kaya raya.
Namun sayangnya, seperti kita semua tahu, regulasi di negeri ini sering berhenti di seremoni. Banyak aturan lahir megah, tetapi mati muda. Filosof Immanuel Kant pernah mengingatkan: hukum tanpa moral hanyalah kosong. Moral tanpa hukum hanyalah angan-angan. Protokol Jakarta akan gagal bila hanya jadi dokumen indah di lembar negara. Ia butuh hati yang jernih, kesungguhan pemerintah, Â kejujuran lembaga pengelola royalti, keberanian industri musik, dan partisipasi musisi itu sendiri.
Pada akhirnya, royalti bukan sekadar uang. Ia adalah pengakuan bahwa sebuah lagu lahir dari jiwa, dan jiwa itu bernilai. Ketika kita mendengar "Bento" di sebuah pertunjukan atau "Indonesia Pusaka" di Hari Kemerdekaan. Kita tidak hanya mendengar musik. Kita mendengar doa, sejarah, bahkan luka yang dipahat menjadi nada.