Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Alam Sedang Mengatur Keseimbangan

17 September 2020   10:17 Diperbarui: 17 September 2020   10:20 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang terjadi saat ini ( wabah corona ) bukan untuk meratapi nasib situasi kondisi. Ini adalah proses alamiah. Menurut pemikiran saya. Sekali lagi ini adalah pemikiran saya dari renungan singkat. Bukan untuk dipercaya apalagi diyakini. Yang dilakukan oleh alam. Bahwa alam dan seisinya sedang memperbaiki diri. Alam sedang melakukan seleksi terhadap apa yang ada di atasnya. Alam sedang melakukan peremajaan kalau boleh saya bilang.

Dengan adanya wabah corona ini. Kita lihat sendiri. Banyak korban nyawa. Banyak orang menderita dan meninggal. Maka dengan logika sederhana saya. Tanpa mengecilkan saudara kita yang menjadi korban corona. Maka semakin berkurang manusia melakukan tindakan semena-mena terhadap alam. Bukan berarti yang meninggal akibat corona selama hidupnya merusak lingkungan bukan itu.

Tapi secara sederhana. Menjadi berkurangnya manusia. Maka otomatis berkurang pula kerusakan yang dilakukan manusia terhadap lingkungan. Contoh sederhana lagi tanpa bermaksud menyinggung, dengan diterapkannya psbb saja, yang terjadi di awal pandemi Nasional, udara lebih bersih, langit cerah, polusi berkurang. Karena banyaknya manusia di rumahkan, gerakan dirumah saja ternyata membuat alam kembali bernafas. Berseri-seri. Setidaknya itu gambaran yang dapat saya bayangkan.

Malu sebagai manusia yang diberi akal pikiran namun tetap merusak alam. Apa yang merasuki pikiran manusia. Sehingga alam pun ber reaksi melakukan gerakan. Terlepas dari dan lagi saya jelaskan. Kalaulah memang virus ini dibuat, tetap saja merugikan semua orang. Toh virus ini tidak memilih siapa yang akan diinfeksinya. Siapapun bisa terkena.

Disini manusia harusnya belajar dan sadar. Bahwa alam bisa bertindak secara perlahan namun pasti. Dan sedang terjadi saat ini. Saatnya manusia berubah. Ini mungkin sering kita dengar. Belum cukup bencana banjir, longsor, dan becana yang saling terhubung itu membuat manusia berubah. Manusia harus merubah pola hidup konsumtif.

Berhenti mengeksploitasi alam. Saya tiba-tiba ingat sebuah film documenter di Youtube. Film itu menceritakan betapa alam rusak parah akibat tangan-tangan manusia rakus demi "kepentingan" rakyat. Ironis. Karena membangun pembangkit listrik yang memang untuk rakyat tetapi disaat yang sama merampas hak milik rakyat itu sendiri. Pembebasan lahan oleh satu pihak saja. Belum lagi pertambangan dan lain-lain.

Mungkinkah wabah ini sebagai pengingat kepada manusia atas kerusakan alam yang diperbuat? Saya selalu memikirkannya. dan berharap alam mengiyakan." Ya kami sedang melakukan pembalasan terhadap kalian para manusia serakah". Semua berdampak kepada semua manusia sayangnya. 

Alam tidak bisa memilih siapa yang menjadi korban. Anak-anak, orang dewasa, tua atau muda. Baik atau jahat. Kaya ataupun miskin. Tidak peduli. Seperti tidak pedulinya gelombang tsunami menyapu apapun di depannya. Pun masih belum juga sadar manusia ini. Sampai kapan. Ini sudah berlangsung begitu lama. Tapi bumi tidak hancur-hancur juga. Mungkin sang Maha masih sayang. Seperti sayangnya seorang Ibu, betapa apapun kesalahan anaknya dia tetap memaafkan dan sayang.   

Optimis selalu menjadi resep sederhana yang bisa selalu diterapkan. Tidak semua manusia jahat. Masih banyak yang baik. Ini yang membuat kita tetap optimis bahwa semua akan baik-baik saja. Dan badai pasti berlalu. Kapanpun itu berlalunya. Ini yang membuat manusia masih bertahan, tidak punah hingga kini. Ada optimis dan harapan. Kalau harapan itu tidak terjadi? Maka selalu ada jalan lain. Harapan lain. Harapan ada yang sama, adapun yang berbeda. Seperti perbedaan pada harapan anak kecil dan orang dewasa. Berbeda.

Anak kecil berharap hanya bisa bermain di luar. Orang dewasa berharap anaknya menjadi kutubuku. Berbeda. Tapi tidak semua orang tua ingin itu. Tidak putus harap. Semoga wabah ini perlahan berlalu. Harapan. Pasti atau tidak, dijalani saja... salam  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun