Kita sering membanggakan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Tapi di balik kebanggaan itu, ada kenyataan yang tersembunyi, realita sosial yang terabaikan. Di banyak pulau kecil, pembangunan bukan sekadar soal jalan atau jembatan, melainkan soal masyarakat kehilangan rasa percaya terhadap sistem pemerintahan atau tata kelola pembangunan, data perencanaan yang tak lengkap, dan sistem yang seolah lupa bahwa ada kehidupan di seberang laut dan pulau. Di titik ini, blockchain muncul bukan sebagai jargon futuristik, tapi sebagai peluang untuk menghadirkan keadilan. Bukan hanya di kota besar, tapi justru di desa-desa, pulau-pulau yang sinyalnya lemah dan listriknya tak selalu menyala. Di sanalah transparansi seharusnya dimulai, bukan diakhiri.
Selama ini blockchain lebih sering dikaitkan dengan Bitcoin atau dunia kripto. Tapi makna sejatinya lebih luas dari itu. Blockchain adalah teknologi pencatatan digital yang tidak bisa diubah sembarangan, tersebar di banyak titik, dan bisa diverifikasi siapa saja. Ia adalah sistem kepercayaan baru yang tidak bergantung pada satu pihak, melainkan pada kekuatan jaringan (keamanan dan kejujuran yang muncul dari kolaborasi OPD, pengawas/auditor, masyarakat dan pemerintah). Bagi daerah kepulauan yang sering kali jauh dari pengawasan dan pelayanan, sistem seperti ini bukan sekadar canggih, tapi bisa menjadi alat pemutus rantai ketidakadilan birokrasi.
Bisa dibayangkan jika setiap dana desa, bantuan sosial, atau proyek infrastruktur bisa dilacak secara real-time.Â
Warga tahu kapan uang turun, untuk apa, dan siapa yang mengerjakan. Pengawasan tidak lagi terbatas pada inspektorat atau auditor, tapi juga melibatkan publik secara langsung. Bahkan dalam forum seperti Musrenbang desa, blockchain bisa membuat prosesnya lebih jujur. Sistem e-voting memungkinkan setiap suara warga dihitung secara transparan, tanpa takut data diubah atau hasil sudah ditentukan sebelum rapat dimulai.
Masalah kronis lain di daerah kepulauan adalah tidak adanya data yang valid dan konsisten. Penerima bantuan yang terus berubah, sertifikat tanah yang tumpang tindih, layak dan transparansi Koperasi Merah Putih, hingga produk lokal yang kesulitan menembus pasar karena tak punya bukti legal asal yang sah. Blockchain bisa menjawab semua itu. Data penerima bansos bisa dikunci agar tidak mudah dimanipulasi. Sertifikat aset dan produk UMKM bisa disimpan dalam sistem yang aman dan dapat dilacak kapan pun dibutuhkan. Pengelolaan Koperasi Merah Putih akan lebih baik dari sisi validasi, transparansi, maupun efisiensi tata kelola. Ini bukan hanya transformasi digital, tapi bentuk keadilan yang bisa diakses bahkan dari pulau terpencil sekalipun.
Tentu kita juga harus jujur. Tidak semua wilayah kepulauan hari ini siap menyambut blockchain. Masih banyak desa yang listriknya hanya menyala beberapa jam sehari. Internet datang dan pergi seperti kapal ferry, kadang ada, kadang tidak. Maka sebelum bicara soal teknologi tinggi, kita perlu menata fondasinya lebih dulu. Pembangunan internet satelit seperti Starlink atau Telkomsat, pelatihan digital bagi aparat, serta infrastruktur dasar yang merata, harus lebih dulu diprioritaskan. Blockchain bukan sulap, tapi ia bisa menjadi jalan terang kalau prasyaratnya dibangun dengan serius. Kita bisa memulainya dari pusat kecamatan atau ibu kota kabupaten sebagai titik awal.
Blockchain bukan kewajiban yang harus dipaksakan. Banyak hal bisa dimulai lebih dulu, dari digitalisasi pelayanan publik, integrasi data antar-OPD, hingga penggunaan dashboard anggaran yang terbuka. Tapi ketika kepercayaan publik rendah, birokrasi tersekat, dan wilayah sulit dijangkau secara fisik, maka blockchain bukan lagi sekadar pilihan canggih, melainkan jembatan strategis menuju sistem yang lebih adil dan akuntabel. Ia bukan alat sulap, tapi bisa menjadi pagar kejujuran yang bekerja otomatis, tanpa harus menunggu pejabat turun tangan setiap saat.
Teknologi seharusnya bukan hanya untuk mereka yang dekat dengan kekuasaan, tapi juga untuk mereka yang selama ini jauh dari peta perhatian.Â
Blockchain bisa menjadi bagian dari sistem yang memastikan setiap anggaran, suara, dan data tidak lagi tenggelam di laut birokrasi. Sudah saatnya pembangunan di daerah kepulauan tidak lagi dipandang sebagai tantangan geografis, melainkan sebagai ladang inovasi. Jika blockchain bisa hadir di balik laut, maka yang dibutuhkan bukan hanya sinyal internet, tapi juga sinyal keberpihakan. Pemerintah daerah, penyedia teknologi, akademisi, dan masyarakat harus duduk bersama. Kita perlu membangun bukan hanya sistem, tapi juga kepercayaan. Akuntabilitas.
Karena pada akhirnya, teknologi akan selalu kalah penting dibanding komitmen. Dan barangkali, justru dari pulau-pulau kecil itulah masa depan pemerintahan yang bersih dan transparan akan benar-benar dimulai.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!