Mohon tunggu...
Askhar Wijaya Subiyanto SH
Askhar Wijaya Subiyanto SH Mohon Tunggu... Advokat / Pengacara, Managing Partner pada Kantor Pengacara Wijaya Infinite And Company.

Hallo, Salam Sejahtera, Perkenalkan saya Askhar Wijaya Subiyanto, SH., usia saat ini menjelang 40 tahun. Profesi saya sehari - hari adalah sebagai Advokat / Pengacara. Saya mempunyai Firma Hukum bernama Wijaya Infinite And Company. Selain bermain musik dan mengkoleksi batu mulia dan permata, saya juga mempunyai hobi menulis, bisa terkait isu hukum, sastra, politik dan lain lain. Inilah sekilas tentang diri saya, Salam damai, Salam kebajikan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

**Usul Pemakzulan Gibran Sebagai Wapres, Tuai Polemik **

7 Mei 2025   21:18 Diperbarui: 16 Mei 2025   14:18 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Wijaya Infinite & Co

Usulan pencopotan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia terus menuai polemik maupun perdebatan yang tak berkesudahan, hal ini membuat Advokat / Pengacara Askhar Wijaya Subiyanto, SH Managing Partner pada Kantor Hukum Wijaya Infinite & Co. angkat bicara.


"Di dalam suatu negara demokrasi, salah satu poin usulan yang datang dari Para Purnawirawan Jenderal TNI dan disampaikan melalui Bpk Try Soetrisno kepada Presiden Prabowo Subianto untuk segera mencopot Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden itu sah sah saja, karena merupakan salah satu bentuk penyampaian aspirasi dijamin oleh Konstitusi, hanya saja yang harus diperhatikan adalah usulan bukanlah suatu perintah sekalipun usulan itu sifatnya darurat atau mendesak", ujar Askhar Wijaya Subiyanto.

Selanjutnya Pengacara muda asal Kota Surabaya ini mengatakan, "desakan untuk segera mencopot Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden itu sama halnya dengan adanya permulaan upaya pemakzulan, lalu apakah diperbolehkan ?, sepanjang mekanismenya dilakukan secara Konstitusional, maka diperbolehkan, namun yang harus dipahami adalah apa yang menjadi dasar maupun latar belakang persoalan hukum sehubungan dengan permulaan upaya pemakzulan tersebut ?, karena apabila upaya pemakzulan tersebut dilakukan secara In-Konstitusional, maka usulan itu dapat memunculkan potensi in-stabilitas hukum tata negara", imbuhnya.

"Makzul, pemakzulan, dan dimakzulkan sebetulnya merupakan suatu kata khusus. yang digunakan bagi subyek yang memperoleh predikat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berarti diberhentikan, pemberhentian sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945".

"Di Negara dengan sistem Presidensial, konseptual pemakzulan merupakan hal yang sudah biasa terjadi, bahkan kalau kita masih ingat di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Indonesia malah tidak cukup memiliki kepastian terhadap mekanisme pemakzulkan Presiden di tengah masa jabatannya".

"Pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden ditentukan oleh suara mayoritas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), namun yang menjadi persoalan adalah apabila mekanisme pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut hanya menggunakan parameter politik semata dan tanpa melalui proses hukum di dalamnya, karena upaya pemakzulan yang dilakukan tanpa proses hukum dapat menciderai Konstitusi yang justru dapat berakibat hilangnya kepercayaan publik terhadap kelembagaan negara. Maka dari itu dalam mekanismenya harus terdapat proses hukum sebagai parameter utama".

"Dalam konteks hukum, Pasal 7A UUD 1945 menegaskan, "Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".

"Dengan demikian, dalam Pasal 7A Amandemen ketiga tersebut telah dengan sangat jelas mengatur Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berat berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden, namun untuk pembuktiannya tetap harus di uji dulu melalui mekanisme Yustisial dan mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap / inkracht.

"Nah, Pertanyaannya adalah, apakah selama Gibran Rakabuming Raka menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia sudah terdapat pelanggaran hukum berat yang dapat dibuktikan ?, karena sepengamatan saya selama Gibran menjabat belum ada  pelanggaran hukum berat yang dilakukannya, dan kalaupun yang dipersoalkan dalam salah satu usulan itu adalah terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 90/PUU-XXI/2023, maka secara hukum jelas ini sudah tidak relevan, karena Putusan itu bersifat final dan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945, sehingga dalam hal ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar maupun alasan untuk menyimpulkan adanya pelanggaran hukum terhadap Wapres Gibran, bahkan meskipun di ketahui bahwa selama proses Putusan MK Nomor 90 tersebut terdapat Pelanggaran Etik yang dilakukan oleh Anwar Usman, tetap saja diperlukan pembuktian terkait dengan pelanggaran hukumnya untuk dijadikan sebagai dasar Konstitusional dalam proses pemakzulan, karena pada dasarnya konseptual Pelanggaran Etik jelas sangat berbeda dengan Konseptual Pelanggaran Hukum, maka dari itu, menurut saya dalam konteks hukum tentu tidak mudah untuk mencari dasar pemakzulan terhadap Gibran". Pungkas Askhar

"Selanjutnya dalam konteks Politik mekanismenya dapat di lihat pada Pasal 7 B UUD 1945 dimana usulan pemberhentian dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945".

"Teknisnya, pengajuan permintaan DPR kepada MK tersebut dilakukan dengan dukungan sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, dan selanjutnya Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut, paling lama 90 hari setelah permintaan DPR diterima MK".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun